Dalam kurun waktu yang lama, Dasar-dasar U Koli Laza Api tertanam dari generasi ke generasi di tanah itu. Filosofi yang menjadi dasar hidup inilah yang membuat suku terus berkembang, bergerak, menyebar ke perbukitan, dataran rendah hingga tepian sungai Aesesa, dan membentuk pemukiman. Lalu, bagaimana filosofi itu dijalankan saat ini?
Hari itu, saya berkunjung ke Boamara, kampung adat karismatik yang berteduh dibawah tebing batu yang menjulang tinggi, terpencil namun sangat indah. Mendung menggelayut menyebar warna kelabu di penjuru langit hari itu. Deretan pegunungan tampak angkuh dan dingin.
Boamara berada di Desa Wajomara – Aesesa Selatan, sekitar 13 km dari kota Mbay. Menaiki lereng tebing beberapa kilo hingga mencapai gapura penanda kampung. Dilanjutkan dengan berjalan 400 meter jauhnya menapaki rimbunnya pohon bambu.
Kampung adat Boamara jadi salah satu kampung adat terindah di Nagekeo. Banyak pesohor yang membuat film dan iklan disini. “Selamat datang di rumah kami,” ucap Eten, pemuda desa yang mengundang kami ke kampungnya. Dan Dihadapan saya, rumah adat tertata rapi berdiri dengan kemistisannya tak henti-hentinya membuatku terpukau.
Kampung ada itu kecil, tetapi nyaman sekali. Boamara menempati lahan yang tak begitu luas dengan kontur tanah yang tidak rata mengelilingi halaman kampung. Luasnya mungkin hanya setengah lapangan bola dan diisi 10 rumah.
Eten lalu membawa saya ke rumah kepala adat yang ukurannya paling besar dangan atap paling tinggi. Warnanya coklat, dindingnya dihiasi ukiran pria dan wanita telanjang yang jadi salah satu ciri khas rumah adat di Nagekeo.
Disana sudah berkumpul beberapa warga kampung adat. “Kami tadi ada kerja di bawah buat saluran air,” jelas salah satunya.
Secarah Harfiah, Bo’amara terdiri dari dua unsur kata. Unsur pertama menyimbolakan wilayah, kehidupan, tradisi, dan jumlah manusia. Unsur kedua tentang simbol atau identitas, kekayaan sumber alam atau juga berkaitan dengan peristiwa. Esensinya adalah pengingatan kembali awal mula terciptanya suatu sejarah.
Dalam bahasa mereka, Bo’a berarti Kampung, merupakan perkumpulan yang menempati wilayah tertentu yang belum tersentuh kemodernan baik lingkungan, kehidupan, kebiasaan maupun tradisi.
Konon Penamaan kampung ini bermula dari kisah kawanan kerbau yang dituntun oleh seorang warga dari kampung tertua, Rendu Ola, untuk minum air di Lowo Sesa atau sungai Aesesa.
Ketika pulang, kawanan kerbau itu tidak lagi kembali ke rutehnya semula, namun mengarah ke dataran tinggi berbeda. Sang penuntun kerbau pun mengeluh karena kawanan kerbaunya selalu mengarah ke lokasi tersebut dan tak mau pulang. “Mara Nuka Zele” (selalu mengarah keatas).
Seperti kerbau, penuntun kerbau juga merasa betah dan nyaman dengan tempat itu. Hingga dinamakannya kampung ini, Bo’amara yang dalam bahasa adat disebutkan “Teka Keka Rona Boa,” dan ia menamainya “Bo’amara”.
Setelah mendapatkan perintah dari Jogo Raja, Raja Ulu Tana Masyarakat adat suku Redu perlahan mulai berpindah menempati kampung baru tersebut. Yang kemudian diutuslah Ebu Dapa/Dapa Lewa sebagai Raja Iko Tana di Kampung Bo’amara. Perpindahan mereka, oleh Jogo Raja juga menghadiahkan Ritual Etu tinju adat untuk dilaksanakan setiap tahun di kampung Bo’amara.
Kini generasi terus berganti. Zaman juga telah berubah, namun Bo’mara masih tetap sama saat pengembala kerbau itu membangun rumah pertama. Rumah-rumah adat yang masih berdiri dipuncak bukit itu telah memandangi lemba sungai itu selama ratusan tahun. Figur kegagahan budayanya masih terlihat jelas berlatar belakang perbukitan cadas.