Ka Sa’o, Upacara Mambangun Rumah Adat Ngada

Masyarakat Ngada menyakini bahwa kehidupan di dunia fana, tidak terlepas dari keberadaan leluhur. Keyakinan itu tercermin dari budaya, maupun rumah dan kampung mereka. 

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Ka Sa’o. Masyarakat Ngada menganut sistem materineal. Ini berarti pria yang sudah menikah akan tinggal dirumah istrinya. Perempuan dari garis keturunan mama akan mewarisi rumah adat. Pentingnya peran perempuan juga tersirat dari kepercayaan bahwa Gunung Inerie adalah sosok Ibu dari leluhur mereka. Setiap kampung adat, akan memiliki susunan yang sama.

Pintu masuk utama kampung menghadap ke Gunung Inerie, atau gunung lainnya. Pintu belakang rumah harus menghadap ke sungai atau laut. Rumah-rumah yang dihuni oleh warga dari beberapa klan atau suku, akan memiliki susunan berjajar.

Menghadap ke tengah pelataran kampung. Karena terdapat dua elemen sangat penting. Ngadhu dan Bagha . Dua simbol leluhur pertama untuk setiap suku. Ngadhu melambangkan laki-laki. Bagha melambangkan wanita.

- Advertisement -

Kedua simbol ini adalah perwujudan dari oposisi dualisme atau biner. Kedua hal yang saling bertentangan. Konsepsi dualisme yang dijalankan masyarakat Ngada, juga menjadi landasan arsitektur rumah adat mereka.

Hal itu terlihat pada arsitektur hunian utama. Sa’o meze-saka . Yang terdiri dari Sa’o Pu’u sebagai rumah pagkal, dan Sa’o Lobo sebagai rumah pucuk.

Rumah Pu’u dilambangkan sebagai kepala dalam suku itu dan Lobo sebagai wakil. Sa’o Pu’u dan Sa’o Lobo menunjukan asal usul leluhur serta keturunannya, yaitu Sa’o Kaka dan Sa’o Dhai. Bagi masyarakat suku Ngada, rumah ialah perwujudan nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh leluhur.

- Advertisement -

Masyarakat Ngada menganggap rumah adalah rahim ibu. Rumah bagi mereka di ibaratnya manusia. Dimana rancangannya mengikuti bentuk-bentuk manusia sebenarnya.

Konstruksi rumah menggunakan bahan alam, mayoritas bambu dan kayu yang dibangun menggunakan teknik sambungan, ikatan, dan penguncian, dipasang secara kreatif seperti pen, furluf, dan pasak. Pemasangan konstruksi juga melambangkan unsur dualisme. Laki-laki dan perempuan, lembut dan keras, pangkal dan pucuk.

Baca Juga :  Liburan ke Pantai Liman, Menyalami Pesona Alam di Pelosok Pulau Semau

Cara penyambungan diberi nama Puki laso atau sistem Penyatuan antara laki-laki dan perempuan tanpa menggunakan paku. Jadi walaupun digoncang oleh gempa, rumah ini tetap dapat bertahan.

- Advertisement -

Rumah Sa’o harus melewati 10 tahapan untuk mencapai kesempurnaan. Seluruh tahap itu merupakan simbol dari daur kehidupan. Masyarakat Ngada menganggap rumah memiliki jiwa dan tubuh. Rumah juga melalui fase kehidupan yang dimulai dari Fase kelahiran, bayi, anak-anak, sampai pada tahap akhir sudah mapan, baik spiritual maupun kedewasaan.

Dalam setiap tahap yang dilewati, rumah harus dibongkar. Kemudian dibangun dari awal dengan material yang baru, ditambah ornamen yang lebih lengkap. Hal ini menggambarkan jiwa yang menjadi dewasa, ketika dibungkus dengan tubuh atau konstruksi yang baru. Biasanya satu fase membutuhkan waktu 50 tahun.

- Advertisement -