Dalam dekapan doa dan permohonan, segala niat pun dipanjatkan. Kacaping Mandar, alat musik tradisional berdawai, berbentuk menyerupai perahu dan terbuat dari kayu nangka, bukan hanya sekadar karya seni, melainkan juga wujud kearifan lokal yang penuh makna.
Proses pembuatan kacaping Mandar dimulai dengan memilih kayu nangka yang tepat, yang kemudian disertai rangkaian ritual sakral. Di hadapan pohon nangka, sebuah tikar dibentangkan, dan ayam beserta perlengkapan ritual lainnya dipersembahkan. Persembahan ini ditujukan untuk memohon kebaikan dan mengusir kesialan.
Ritual dilanjutkan dengan mengeluarkan darah ayam sebagai simbol pengorbanan. Darah tersebut disimpan dalam wadah bersama bubuk bedak dingin, kemudian diusapkan ke parang dan pohon yang akan ditebang.
Darah juga dipercikkan pada pohon sebagai lambang penghormatan, dengan keyakinan bahwa dalam proses ini terkandung molekul kebaikan, harapan, dan doa yang telah dipanjatkan. Dengan tulus, permohonan diajukan kepada Sang Pencipta agar pohon nangka yang dipilih menjadi bahan terbaik untuk menciptakan kacaping yang mampu menyampaikan segala harapan dan pujian.
Pohon nangka ditebang dengan penuh kehati-hatian hingga tumbang. Meskipun prosesnya berat, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar selain memperoleh kayu terbaik untuk menciptakan kacaping. Sejak awal, pembuatan kacaping Mandar, termasuk proses pengambilan bahan, dilakukan dengan penuh perhatian dan mengikuti ukuran yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Salah satu standar yang digunakan adalah tu jengkal. Mengapa tu jengkal dan bukan meter? Pada zaman dahulu, alat pengukur modern belum tersedia, sehingga ukuran ini disesuaikan dengan panjang toyang—ayunan bayi yang terbuat dari kayu. Ukuran ini menguatkan kepercayaan bahwa kacaping Mandar berfungsi sebagai sarana penghibur, terutama untuk menenangkan bayi yang berayun dalam toyang.
Setelah kayu nangka terbaik diperoleh, pembuat kacaping akan mengadakan ritual tambahan sebelum memulai proses pengolahan kayu menjadi alat musik. Ritual ini merupakan syarat penting agar pembuatan kacaping berlangsung sempurna, membawa keberkahan lahir dan batin, serta menghasilkan kacaping yang sesuai harapan.
Ketan tiga warna dengan sebuah telur di atasnya melambangkan kehidupan duniawi yang selalu diarahkan kepada pemujaan. Dalam tradisi hajatan masyarakat Mandar, simbol ini merepresentasikan harapan akan keberkahan dari Loka Manurung—sosok yang diyakini memiliki sifat rimbun dan membawa kehidupan sejahtera dengan generasi yang sehat serta berjaya.
Siri menjadi lambang pembuka komunikasi, sekaligus media perantara harapan agar segala proses dalam memahat dan mengukir kacaping berjalan lancar serta didukung oleh semua pihak. Ritual ini menjadi syarat penting agar tidak ada kendala selama pengerjaan. Beras dan sejumlah uang yang disertakan dalam ritual juga melambangkan doa akan kemakmuran bagi seluruh pihak yang terlibat dalam pembuatan kacaping.
Setelah persiapan selesai, pembuatan kacaping dimulai di tempat yang rimbun dengan pohon bambu. Perlahan, setiap pahatan mempertegas bentuk kacaping Mandar. Ukuran dan motifnya mungkin berbeda, namun tetap mengikuti konsep adat yang diwariskan oleh masyarakat Mandar.
Kacaping selalu dibuat dengan model yang menyerupai perahu karena memiliki filosofi mendalam. Orang-orang Mandar percaya bahwa laut dan gunung, atau laut dan darat, adalah dua elemen yang tidak dapat dipisahkan. Kayu, yang berasal dari darat, dan perahu, yang melambangkan laut, menjadi simbol harmoni dan kesatuan antara keduanya.
Dalam tradisi pembuatannya, biasanya satu batang kayu digunakan untuk menghasilkan satu instrumen kacaping. Ada istilah “kacik Kale,” yang mengacu pada sambungan antara kepala dan badan kacaping, menggambarkan keterhubungan yang erat antara setiap bagiannya.
Proses pembuatannya menyerupai cara membuat perahu, di mana kayu dibor dan dilubangi untuk menyatukan seluruh elemen. Filosofi ini memperkuat hubungan simbolis antara laut dan darat, mengingatkan pada makna mendalam dari pembuatan perahu dalam kehidupan masyarakat Mandar.
Belahan Jiwa
Alunan suara merdu dari petikan kacaping Mandar seolah mengundang semesta untuk turut bernyanyi dalam harmoni yang lembut. Bagi para seniman kacaping, alat musik ini lebih dari sekadar instrumen; ia adalah belahan jiwa yang harus dijaga dengan penuh cinta.