Jawa Barat, Rumah Jolopong
Rumah jolopong adalah rumah panggung yang dibangun dengan ketinggian sekitar 40—60 cm di atas permukaan tanah dan memiliki tangga yang menghubungkan ke teras rumah. Proses pembangunan rumah ini melibatkan penggunaan berbagai bahan alami, termasuk kayu, bambu, ijuk, daun kelapa, batu, dan tanah.
Ciri khas dari rumah jolopong adalah atapnya yang memanjang dan memiliki bentuk segitiga sama kaki, menyerupai tergolek lurus atau jolopong (terkulai). Dengan begitu, rumah adat ini mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi yang diwariskan oleh masyarakat Jawa Barat, sambil tetap menggunakan bahan-bahan alami yang tersedia di lingkungan sekitarnya.
Banten, Rumah Badui
Suku asli yang mendiami Provinsi Banten adalah suku Badui, dan mereka memiliki rumah adat yang dikenal sebagai sulah nyanda. Rumah tradisional ini adalah simbol integrasi yang mendalam dengan alam sekitarnya, sebab bahan-bahan yang digunakan berasal dari sumber daya alam sekitar.
Pondasi rumah ini terbuat dari batu, lantai dibuat dari bambu yang telah dibelah, dindingnya dirakit dari anyaman bambu, tiang-tiang besar menggunakan balok kayu, dan atapnya terbuat dari bilah bambu dan ditutup dengan ijuk. Dengan demikian, rumah adat sulah nyanda mencerminkan hubungan harmonis antara suku Badui dan lingkungan alam mereka, sambil menjaga dan mewariskan tradisi budaya yang unik.
D.I. Yogyakarta, Rumah Joglo
Rumah adat yang ditemukan di D.I. Yogyakarta juga dikenal sebagai joglo, walaupun memiliki sedikit perbedaan dengan joglo yang ditemukan di Jawa Tengah. Joglo di Yogyakarta mengambil inspirasi dari bangsal kencono yang biasa terdapat di keraton Yogyakarta.
Salah satu ciri khasnya adalah atapnya yang memiliki bentuk bubungan yang tinggi dan terdiri dari tiga lapisan. Rumah ini dibangun dengan menggunakan kayu untuk tiang dan dindingnya. Tiang-tiangnya sering dicat dengan warna hijau gelap atau hitam yang menciptakan tampilan yang khas.
Lantai joglo Yogyakarta ditempatkan pada ketinggian yang lebih tinggi dibandingkan dengan permukaan tanah, menciptakan kesan panggung yang kuat. Di bagian depan rumah terdapat pendopo yang luas, yang sering digunakan untuk pertemuan dan berbagai aktivitas sosial. Dengan begitu, rumah joglo di Yogyakarta menggabungkan elemen-elemen budaya dan arsitektur yang unik, menciptakan warisan budaya yang berharga.
Kalimantan Barat, Rumah Panjang
Suku Dayak yang mendiami Kalimantan Barat menghuni rumah panjang, sebuah struktur yang unik dalam budaya mereka. Rumah panjang memiliki ukuran yang sangat besar, dengan panjang mencapai hingga 150 meter dan lebar sekitar 6 meter. Rumah ini dirancang sebagai bangunan panggung yang tinggi, terletak sekitar 3 hingga 5 meter di atas permukaan tanah. Adanya bentuk panggung ini membantu melindungi penghuni dari potensi ancaman hewan buas dan banjir, karena wilayah Kalimantan Barat memiliki banyak sungai yang melintas.
Rumah panjang memiliki beberapa tangga masuk, yang tidak hanya terletak di bagian depan tetapi juga di sisi-sisi dan di belakang rumah. Hal ini mempermudah akses bagi penghuni dan menggambarkan betapa pentingnya struktur ini dalam kehidupan sehari-hari suku Dayak di Kalimantan Barat.
Kalimantan Selatan, Rumah Banjar Bubungan Tinggi
Suku Banjar, kelompok asli yang mendiami Kalimantan Selatan, memiliki rumah adat yang dikenal sebagai rumah baanjung. Rumah baanjung memiliki ciri khas dengan adanya bangunan tambahan yang menyerupai sayap atau baanjung dalam bahasa Banjar, yang berlokasi di sisi kiri dan kanan bangunan utama. Jika dilihat dari samping, rumah ini memiliki atap berbentuk segitiga yang tinggi, menciptakan tampilan yang khas.
Lantai dalam rumah baanjung dibuat bertingkat-tingkat untuk mengakomodasi berbagai ruangan di dalamnya. Bagian depan dan belakang rumah umumnya lebih rendah daripada ruang tengah, menciptakan perbedaan ketinggian yang mencirikan rumah baanjung ini.
Kalimantan Tengah, Rumah Betang
Rumah betang adalah rumah adat yang berasal dari suku Dayak di Kalimantan Tengah. Rumah betang memiliki kapasitas yang cukup besar, dapat menampung hingga 150 orang atau setara dengan 10 hingga 30 keluarga. Rumah ini memiliki struktur panggung yang mirip dengan rumah panjang dan dilengkapi dengan anak tangga yang jumlahnya ganjil.
Selain digunakan sebagai tempat tinggal, rumah betang juga berfungsi sebagai tempat pertemuan adat dan kegiatan sosial masyarakat. Pembuatan rumah betang menggunakan bahan utama dari kayu ulin yang kuat, mencerminkan keterampilan tradisional suku Dayak dalam mengolah kayu dan menciptakan rumah adat yang kokoh dan berdaya tahan.