Ketika aroma tajam menyergap udara dapur di kawasan pesisir Nusantara, banyak yang langsung mengenali sumbernya—bukan dari lauk utama, melainkan dari bumbu sederhana yang sudah melewati proses panjang: belacan.
Di Indonesia, bumbu sejenis dikenal dengan nama terasi, sedangkan di Malaysia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya, sebutan belacan jauh lebih akrab.
Bagi sebagian orang, aromanya mungkin terkesan menyengat. Namun, di balik keharumannya yang khas itu tersimpan sejarah panjang, kisah peradaban maritim, dan rahasia rasa yang menyatukan banyak lidah di Asia Tenggara.
Dalam kehidupan masyarakat pesisir, hasil laut bukan hanya sumber penghidupan tetapi juga identitas. Sejak ratusan tahun lalu, penduduk di pesisir Sumatera, Jawa, Kalimantan, hingga Semenanjung Malaya telah memanfaatkan udang kecil atau rebon yang melimpah di laut tropis.
Di tengah panas matahari dan udara asin, mereka menemukan cara alami untuk mengawetkan hasil tangkapan: dengan garam dan waktu. Proses fermentasi itulah yang melahirkan belacan—bumbu padat berwarna cokelat kehitaman yang kini menjadi simbol cita rasa Melayu.
Secara tradisional, belacan dibuat dengan mencampur rebon segar dan garam laut kasar, kemudian dijemur di bawah sinar matahari selama beberapa hari. Setelah teksturnya mengental, adonan itu digiling, dicetak menjadi balok, dan dijemur kembali hingga kering sempurna.
Dalam tahap ini, aroma khas mulai muncul—sebuah kombinasi antara laut, garam, dan fermentasi yang kompleks. Beberapa daerah menambahkan langkah tambahan seperti memanggang atau mengasapinya, menghasilkan aroma yang lebih dalam dan warna yang lebih pekat.
Bentuk akhir belacan bisa berbeda di setiap daerah. Ada yang berbentuk balok padat, ada pula yang menyerupai pasta atau bubuk halus. Variasi tersebut bergantung pada tradisi setempat, cuaca, dan bahan baku yang digunakan.
Di Indonesia, misalnya, terasi cenderung lebih lembut dan aromanya sangat kuat, sedangkan belacan Malaysia sering kali memiliki tekstur lebih kasar dan rasa sedikit asam. Perbedaan kecil ini justru memberi identitas tersendiri bagi setiap wilayah—seolah setiap belacan menyimpan kisah laut dan tangan manusia yang mengolahnya.
Meskipun berbahan dasar sama, karakter kedua bumbu ini berbeda ketika digunakan dalam masakan. Terasi khas Indonesia memberi rasa gurih yang intens dan dalam, cocok untuk sambal atau hidangan dengan bumbu kuat seperti sambal terasi, plecing kangkung, hingga sayur lodeh.
Sementara itu, belacan Malaysia memiliki cita rasa yang lebih ringan dan sedikit asam, menjadikannya ideal untuk hidangan yang menyeimbangkan rasa pedas dan segar, seperti laksa Penang, sambal belacan, atau kangkung belacan yang menjadi ikon kuliner Malaysia.
Menariknya, dalam kebiasaan memasak masyarakat Malaysia, belacan hampir selalu dipanggang sebelum digunakan. Proses ini bukan hanya untuk mengurangi aroma tajam, tetapi juga untuk membangkitkan rasa umami yang lebih lembut dan berlapis.
Ketika belacan yang telah dipanggang bertemu dengan cabai segar, bawang putih, dan perasan jeruk limau, terciptalah aroma yang khas—tajam, gurih, dan menggoda, seolah menandai kehadiran hidangan yang akan menggugah seluruh pancaindra.
Sejarawan kuliner menduga bahwa kebiasaan fermentasi udang ini sudah ada sejak masa perdagangan maritim kuno di Asia Tenggara. Jalur perdagangan dari pesisir Sumatera ke Semenanjung Malaya dan utara Kalimantan bukan hanya membawa rempah, tetapi juga pengetahuan tentang pengawetan hasil laut.
Dari sinilah, teknik fermentasi berkembang dan menghasilkan berbagai bentuk olahan seperti cincalok di Melaka, ngapi di Myanmar, bagoong di Filipina, hingga belacan di kawasan Melayu. Semua memiliki dasar yang sama: garam, waktu, dan laut.
Belacan tidak hanya sekadar bumbu; ia adalah cermin dari kearifan lokal yang menyesuaikan diri dengan alam. Dalam setiap kepingnya tersimpan cerita tentang bagaimana manusia pesisir beradaptasi dengan sumber daya laut, tentang bagaimana rasa asin, asam, dan gurih berpadu menjadi identitas kuliner lintas negara.
Bahkan hingga kini, aroma belacan masih menjadi penanda ruang dan waktu—sebuah nostalgia yang membawa ingatan pada dapur nenek di kampung, di mana wangi belacan yang terbakar di wajan menjadi isyarat bahwa makan siang akan segera siap.
Dalam konteks modern, belacan tetap menjadi jembatan budaya antara Indonesia dan Malaysia. Meski ada perbedaan dalam cara pengolahan dan penggunaan, keduanya memiliki semangat yang sama: menghadirkan kedalaman rasa dari bahan sederhana.
Di Riau, gulai belacan menjadi hidangan kebanggaan, sementara di Melaka, sambal belacan hadir di setiap meja makan. Satu rasa gurih yang sama, namun dengan nuansa berbeda—itulah kekayaan kuliner Melayu yang hidup dari generasi ke generasi.
Belacan mungkin tampak sederhana, namun seperti banyak hal lain dalam kuliner tradisional, di balik kesederhanaannya tersembunyi kompleksitas rasa dan sejarah. Dari laut yang asin hingga meja makan keluarga, dari proses fermentasi alami hingga hidangan penuh cita rasa, belacan membuktikan bahwa warisan budaya tidak selalu berupa monumen megah—kadang, ia hadir dalam sejumput bumbu yang mampu mengubah rasa seluruh masakan.


