Kisah Wongkong Biru Kadio menggambarkan hubungan terlarang antara Raja Syam Syah Alam, atau Samansialang, dan putrinya sendiri, Bualaengtanding atau Sangiang Tinanding.
Dahulu kala, ketika Pulau Marore masih terhubung dengan daratan besar, terjadilah peristiwa memilukan di mana seorang ayah, Raja Syam Syah Alam, menjalin hubungan terlarang dengan putrinya sendiri. Istri raja sangat bersedih melihat perilaku suaminya dan merasa khawatir hal serupa akan menimpa putri bungsunya, Tanding Bulaeng yang sedang beranjak dewasa.
Dalam upaya melindungi putrinya, permaisuri meminta bantuan seorang bernama Pokarila untuk membawa Tanding Bulaeng pergi ke tempat aman. Suatu ketika, Raja bersama rombongannya berlayar mencari putrinya.
Dari perahu, mereka melihat lereng bukit yang sebagian tertutup pohon rindang. Salah seorang awak kapal berkomentar, ‘Kai tampa ka wiru‘, yang akhirnya menjadi asal mula nama Malueng dan Biru.
Setelah mendarat, Raja Samansialang menuju sungai untuk mandi. Sungai ini kemudian dikenal sebagai Salu Malangese atau Melanise. Usai mandi, permaisuri muncul dari persembunyiannya dan berbincang dengan raja. Dalam percakapan itu, permaisuri menyebutkan bahwa Tanding Bulaeng berada di tempat bernama Wongkong Biru Kadio.
Namun, Raja Samansialang tidak melanjutkan pencarian, melainkan kembali ke istana untuk menikahi putrinya, Bualaeng Tanding. Ketika pesta perkawinan berlangsung, tiba-tiba Gunung Awu meletus, menenggelamkan sebagian Kerajaan Kendahe. Sementara itu, Tanding Bulaeng selamat di penjagaan Pokarila, meski nasib keturunannya tidak diketahui.
Cerita ini memiliki fungsi sosial yang kuat, mengingatkan masyarakat Sangihe untuk mematuhi aturan adat, khususnya dalam hal perkawinan. Masyarakat Sangihe menganut prinsip perkawinan exogami, di mana perkawinan antar keluarga hingga keturunan keempat dilarang karena dianggap dapat membawa bencana. Larangan ini berlaku untuk garis keturunan baik dari pihak ayah maupun ibu.
Kisah Wongkong Biru Kadio tidak hanya mengingatkan pentingnya mematuhi norma sosial, tetapi juga merefleksikan kejadian masa lalu yang membawa dampak besar bagi masyarakat Sangihe.
Peristiwa tragis ini mengajarkan bahwa pelanggaran terhadap aturan sosial dapat membawa bencana, dan meskipun zaman berubah, nilai-nilai tersebut tetap relevan sebagai cerminan kebijaksanaan nenek moyang dalam menjaga keharmonisan sosial.