Sejarah Letusan Gunung Tambora 1815

Gunung Tambora di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat meletus dengan sangat dahsyat pada 10 April 1815. Bahkan jauh lebih dahsyat dari letusan gunung Krakatau tahun 1883. Efek Tambora juga mempengaruhi pertanian di seluruh dunia. Sangat dahsyat!

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Sejarah Letusan Gunung Tambora. Setahun setelah letusan Tambora, negeri-negeri belahan utara mengalami anomali cuaca hebat, sebuah tahun tanpa musim panas, The Year Without Summer.

Seperti apa dahsyatnya letusan Tambora yang mengilhami Festival Pesona Tambora? Dimensi Indonesia mencoba menuliskannya dari berbagai sumber.

Penyebab Kejatuhan Dua Kerajaan

Kisah yang mengerikan tertuang dalam naskah Bo’ Sangaji Kai menggambarkan peristiwa tragis yang terjadi setahun setelah letusan Gunung Tambora pada April 1815, yang mengubur peradaban di Sumbawa. Dua kerajaan, yaitu Kerajaan Tambora dan Kerajaan Pekat, mengalami nasib tragis tersebut.

- Advertisement -

Peristiwa tersebut terjadi baru sehari setelah memasuki bulan Jumadilawal. Subuh datang, tetapi matahari tak kunjung bersinar. Seolah-olah terjadi kiamat, letusan Gunung Tambora pada bulan April tahun 1815 menyebabkan tanah di Sumbawa mengeluarkan petaka. Seperti meriam perang yang meletus, gunung itu memuntahkan batuan dan hujan abu yang tak henti selama tiga hari dan dua malam.

Ketika akhirnya datang cahaya matahari, tampaklah kerusakan besar terjadi pada rumah-rumah dan tanaman, seakan-akan mereka telah diserang oleh pasukan perang. Kerajaan Tambora dan Pekat hancur berantakan karena letusan Gunung Tambora yang dahsyat.

Menurut penuturan dalam naskah Bo’ Sangaji Kai, letusan Gunung Tambora tersebut dihubungkan dengan kesalahan yang dilakukan oleh Sultan Tambora, Abdul Gafur. Bencana ini baru berakhir setelah penduduk melakukan shalat, tetapi kelaparan, penyakit, dan kemelaratan masih tetap melanda.

- Advertisement -

Mayat-mayat bergelimpangan di jalanan, tidak diuburkan, dan tidak diberi upacara pemakaman. Mayat-mayat itu menjadi santapan bagi hewan-hewan liar. Jika tidak ada pedagang dari luar yang datang membawa beras, gula, susu, jagung, kacang kedelai, masyarakat setempat mungkin akan mati kelaparan.

Pedagang-pedagang itu berasal dari berbagai pulau di sekitar Sumbawa, seperti orang Arab, Tionghoa, dan Belanda. Mereka membawa berbagai barang-barang dagangan yang sangat dibutuhkan oleh penduduk setempat, seperti piring, mangkok, kain tenun, senjata, perhiasan emas dan perak, sereh, gambir, dan budak.

Baca Juga :  Benteng Lohayong, Rebutan Portugis Dan Belanda

Hasil penelitian ilmu geologi menunjukkan bahwa letusan Gunung Tambora terjadi pada bulan April 1815. Awan panas pertama kali muncul pada tanggal 10 April 1815. Dampak paling parah dirasakan oleh penduduk yang tinggal di wilayah sekitar gunung, terutama di sebelah barat, selatan, dan utara. Selain Kerajaan Tambora dan Pekat, Kerajaan Sanggar juga luluh lantak akibat serangan awan panas dengan suhu mencapai 800°C.

- Advertisement -

“Kepada timur, arah ke Sanggar tidak terlalu terkena dampak besar, sehingga raja Sanggar masih dapat menyelamatkan diri dan memindahkan pusat kerajaan ke tempat yang lebih aman,” kata peneliti geologi.

Sebelum kejatuhan mereka, kerajaan-kerajaan di Semenanjung Sanggar mengalami masa kejayaan dan kemakmuran yang cukup signifikan. Penelitian arkeologi bahkan menunjukkan bahwa penduduk kerajaan-kerajaan tersebut telah membangun peradaban yang maju, menjadikan peristiwa letusan Gunung Tambora sebagai peristiwa yang dapat diibaratkan sebagai kiamat bagi wilayah Tambora itu sendiri.

Penelitian telah membuktikan bahwa wilayah Tambora mengalami kehancuran total, meninggalkan misteri peradaban yang terkubur di balik tragedi letusan gunung tersebut.

Kemarahan Nyi Roro Kidul

Saat letusan Gunung Tambora terjadi pada April 1815, warga di pulau-pulau sekitarnya hanya bisa bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Laporan dari petugas kolonial di Makassar, Maluku, dan Jawa, seperti yang terdokumentasikan dalam The History of Java Volume 1, mencatat peristiwa tersebut.

Mereka menyebut bahwa pada tanggal 5 April 1815, terdengar suara mirip tembakan meriam datang dari seberang lautan, meskipun asal-usul suara tersebut tidak diketahui.

“Suara itu awalnya diduga sebagai tembakan meriam, hingga satu detasemen tentara dikirim dari Yogyakarta untuk memeriksa apakah wilayah terdekat sedang diserang. Di pantai, kapal-kapal segera bersiap untuk merespons kemunculan asal suara tersebut,” tulis Raffles dalam The History of Java, Volume 1.

Baca Juga :  Kerajaan Bone Sekarang, Riwayatnya Kini dan Sisa-sisa Kerajaan
- Advertisement -