Selain nilai-nilai sebelumnya, tradisi Perang Timbung juga mengandung nilai integrasi atau kebersamaan yang merupakan bagian dari nilai solidaritas dan saling memahami antar individu.
Nilai ini tercermin dalam berbagai aspek pelaksanaan tradisi, seperti saat masyarakat desa Pejanggik berkumpul untuk mengumpulkan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk membuat timbung dan dalam proses pelaksanaan perang timbung itu sendiri.
Semua nilai budaya yang terkandung dalam prosesi perang timbung dapat diambil dan dijadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, semangat gotong royong, kerjasama, serta sikap saling menghormati dan mendukung satu sama lain yang diperlihatkan dalam tradisi ini dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk menjaga solidaritas dan kebersamaan dalam berbagai aspek kehidupan mereka.
Dengan demikian, tradisi Perang Timbung tidak hanya menjadi sebuah perayaan budaya yang menyenangkan, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat untuk membangun komunitas yang kuat dan harmonis di dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Asal Usul Tradisi Perang Timbung
Versi 1
Menurut cerita yang tersebar di masyarakat, Perang Timbung merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pejanggik, Kecamatan Praya Tengah, Kabupaten Lombok Tengah, NTB.
Tradisi ini bermula sejak zaman Kerajaan Poh Jenggi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pejanggik pada abad ke-14 (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lombok Tengah, 2008:22).
Pada masa itu, Kerajaan Pejanggik masih merupakan kerajaan lokal dengan wilayah yang terbatas di bawah pemerintahan Raja pertamanya, Mas Komala Dewa. Namun, pada abad ke-16, Kerajaan Pejanggik berkembang menjadi kerajaan yang lebih besar dan makmur di bawah pemerintahan Pemban Mas Meraja Kusuma (Monografi Daerah NTB, 1997:16).
Konon, saat pemerintahan Raja Dewa Mas Pemban Meraja Kusuma, Kerajaan Pejanggik mengalami konflik internal yang mengancam kehidupan masyarakat. Sang Raja, sebagai seorang pemimpin yang bijaksana, berusaha menyelesaikan permasalahan tersebut.
Setelah melakukan meditasi, Raja menerima petunjuk bahwa kerajaannya akan mengalami kehancuran. Maka, beliau memanggil semua pejabat kerajaan, tabib, dan para ulama untuk membahas masalah tersebut. Namun, rapat tersebut tidak membuahkan hasil yang memuaskan dalam waktu yang cukup lama.
Dalam keputusasaan, seorang tokoh adat atau pandite tua menyarankan kepada Raja untuk melakukan ritual tolak bala dengan membuat “timbung” sebagai sesajen. Timbung adalah sejenis kue lemang yang terbuat dari beras pulut atau ketan yang dicampur dengan santan kental dan dibungkus dengan daun bambu.
Raja menerima saran tersebut dan memerintahkan agar seluruh masyarakat mengikuti upacara tolak bala dengan mempersembahkan timbung sebagai persembahan kepada Sang Pencipta.
Setelah menentukan waktu yang tepat, upacara tolak bala dengan mempersembahkan timbung dilaksanakan dengan melibatkan seluruh masyarakat. Setelah upacara tersebut, hujan turun dan hasil pertanian mulai tumbuh kembali.
Sejak saat itu, Perang Timbung menjadi salah satu ritual yang ditetapkan oleh Datu Poh Jenggi (Raja Pejanggik) untuk selalu dilaksanakan guna memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun Kerajaan Pejanggik telah runtuh, tradisi Perang Timbung tetap dilestarikan dan dilakukan secara turun-temurun.
Pelaksanaan Perang Timbung saat ini dimulai dari bale beleq (bekas bangunan istana Raja Pejanggik) menuju Makam Seriwa (kompleks makam keluarga Raja Pejanggik). Seluruh masyarakat ikut serta dalam prosesi mengarak timbung, yang disertai dengan berbagai atraksi kesenian tradisional, terutama musik tradisional gendang beleq. Tradisi ini dilakukan sekali dalam setahun sebagai bagian dari warisan budaya yang ditinggalkan oleh Datu Poh Jenggi.
Versi 2
Menurut versi lain dalam sejarah Perang Timbung, tradisi ini bermula dari 44 orang pengembala kerbau yang semuanya merupakan raja dan pejabat di lingkungan Raja Pejanggik pada saat itu.
Mereka menyamar dengan tidak memakai pakaian kerajaan dan berjalan ke Bale Beleq. Sesampainya di Bale Beleq, mereka merasa haus. Salah satu dari mereka kemudian menancapkan tongkatnya, yang menghasilkan sebuah sumur kecil yang mengeluarkan air. Dengan puas, ke-44 pengembala tersebut minum dan beristirahat.
Setelah merasa puas minum, mereka menyadari bahwa kerbau-kerbau yang mereka bawa juga butuh minum. Oleh karena itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju embung tani di dekat Makam Serewa untuk memberi minum kerbau-kerbau tersebut. Setelah kerbau-kerbau mereka minum dan bermain di embung tani, ke-44 pengembala itu naik ke puncak Makam Serewa.
Di puncak Makam Serewa, mereka membagi-bagikan timbung, karena pada saat itu timbung merupakan takilan atau bekal bagi para pengembala kerbau. Mereka membagi timbung sambil saling lempar seperti bermain perang-perangan. Semakin lama mereka bermain, semakin mereka menikmati permainan tersebut sambil menikmati timbung sebagai camilan.