Silondongan adalah sebuah tradisi sabung ayam sebagai hiburan pesta adat orang Toraja. Sabung ayam silondongan biasanya dilakukan untuk memperingati perang pertempuran orang Toraja melawan prajurit Arung Palakka pada masa perang to pada tindo tomisa pangimpi tahun 1670.
Pada masa itu, kokok ayam jantan dijadikan prajurit perang Toraja sebagai komando penyerangan di saat pasukan Bugis tengah beristirahat. Ada tiga kali kokok ayam jantan sebagai komando perang.
Kokok pertama, dipakai sebagai pertanda semua pasukan siap. Kokok kedua menandakan para pejuang telah beriap berkumpul, lalu kokok ketiga sebagai isyarat penyerangan musuh. Karena alasan itulah, suku Toraja meyakini, ayam jantan adalah hewan pembawa kemenangan, kesejahteraan, dan penuntut masa depan yang lebih baik.
Dalam tatanan adat, suku Toraja mengenal dua jenis silondongan. Silondongan yang terkait dengan sistem peradilan, dan silondongan untuk menghormati orang yang punya jasa besar yang telah meninggal.
Silondongan Untuk Keadilan
Dalam aturan Aluk Todolo, Silondongan digunakan dalam suatu Acara Peradilan untuk menyelesaikan suatu perselisihan dua pihak yang sedang bersengketa/berperkara.
Misalnya, jika dua orang yang sedang bersengketa dan memutuskan mencari suatu keadilan, mereka boleh memilih satu diantara tujuh bentuk Peradilan Adat Aluk Todolo.
Jika mereka menjatuhkan Silondongan sebagai jalan akhir, maka mereka masing-masing harus menyiapkan seekor ayam jantan untuk diadu. Ayam yang memang, makan pemilik ayam tersebutlah yang dinyatakan memenangkan perkara. Sistem ini terus berlangsung hingga mencapai zaman To Pada Tindo.
Pada zaman itu, Tradisi Silondongan tidak hanya diadakan pada saat akan mengadili dan memutuskan suatu perkara namun para anggota laskar To Pada Tindo mengadakan acara permainan adu ayam ini untuk semakin mempererat tali silaturahmi di antara mereka.
Penghargaan masyarakat Toraja terhadap pengorbanan dan jasa-jasa para anggota laskar To Pada Tindo begitu besar. Para anggota laskar ini dikukuhkan oleh para penguasa Toraja menjadi Ksatria (Pa’ Barani) dan diberi gelar bangsawan tertinggi, Tana’ Bulaan.
Ketika seorang Ksatria meninggal, mereka dihormati melalui Upacara Pemakaman Rapasan Sundun atau Upacara Sapu Randanan, upacara pemakaman untuk kasta tertinggi Tana’ Bulaan. Dalam rangka mengenang keberanian mereka, diadakanlah permainan adu ayam.
Selama permainan adu ayam ini, disediakan sepotong bambu berlubang untuk mengumpulkan uang sumbangan dari para pelayat. Dana yang terkumpul digunakan untuk membiayai upacara pemakaman. Tradisi ini dikenal dengan istilah Sembangan Suke Baratu.
Sebagai bagian dari aturan Aluk Todolo, acara Sembangan Suke Baratu selalu diadakan dalam Upacara Kematian (Upacara Rambu Solo’). Namun, sejak masa kolonial Belanda hingga saat ini, penyelenggaraan acara Sembangan Suke Baratu harus mendapatkan izin dari pemerintah. Dari kata “izin” atau “permisi” muncullah istilah “paramisi,” yang kini digunakan untuk menyebut acara sabung ayam.