Inilah cerita rakyat Minahasa mengenai asal usul alat musik kolintang . Dahulu kala, disebuah desa yang indah bernama To Un Rano (sekarang Tondano), terdapat seorang gadis rupawan yang kecantikannya tersohor ke seluruh pelosok kota. Banyak pemuda yang jatuh hati padanya. Sosok gadis itu bernama Lintang. Ia pandai bernyanyi dan suaranya sangat merdu.
Pada suatu hari, Muncullah Makasiga di sebuah pesta yang diselenggarakan di desa To Un Rano. Makasiga adalah seorang pemuda gagah nan tampan, yang ahli mengukir. Makasiga lalu meminang Lintang namun dengan satu syarat: Makasiga harus membuat sebuah alat musik yang nadanya lebih merdu dari seruling emas.
Makasiga pun berkelana keluar-masuk hutan demi mencari alat musik yang syaratkan Lintang. Untuk menghangatkan badan di malam hari, Makasiga mencari kayu lalu membelah-belahnya untuk kemudian dijemur dibawah matahari.
Setelah kering, belahan kayu itu diambil satu persatu kemudia dilemparkannya ke tempat lain. Saat itulah terdengar bunyi-bunyian yang amat merdu dari kayu itu. Makasiga begitu senang dan bahagian. Berkat ketekunan dan keuletannya, Makasiga berhasil membuat alat musik.
Berawal dari Sulawesi Utara hingga berbagai negara di dunia, alat musik tradisional Kolintang telah diakui keindahannya di dunia internasional. Kolintang atau kulintang adalah alat musik yang terdiri dari barisan gong kecil yang diletakkan mendatar.
Nama kolintang berasal dari suaranya yang khas, bila dipukul, kolintang akan mengeluarkan suara: tong (nada rendah), ting (nada tinggi) dan tang (nada biasa). Dalam bahasa daerah, ajakan “Mari kita lakukan TONG TING TANG” adalah: “Mangemo kumolintang”. Ajakan tersebut akhirnya berubah menjadi kata kolintang.
Kolintang Awalnya Digunakan untuk Ritual Pemujaan
Alat musik kolintang adalah alat musik penghibur diri yang biasanya dimainkan sebaga pengiring musik serta seni tari tradisional di dalam ritual adat serta digunakan dalam upacara ritual tertentu. Zaman dulu, keberadaan Kolintang perna digunakan sebagai ritual pemujaan arwah dari nenek moyang.
Jessy Wenas dalam Sejarah dan Kebudayaan Minahasa menjelaskan bahwa alat musik pukul ini kembali populer berkat sosok Nelwan Katuuk, tokoh minahasa yang begitu mencintai alat musik tradisional. Ia jugalah yang menyusun nada kolintang menurut tangga nada dan diperkenalkan lebih luas lagi pada 1940.
Saat ini, Kolintang hanya dimainkan untuk menyambut tamu yang datang jauh dari daerah lain, misalnya penyambutan tamu kenegaraan di daerah Minahasa atau tamu pejabat negara yang melalukan kunjungan kedaerahan.
Saat ini, Kolintang juga telah banyak dimainkan di panggung-panggung besar sebagai alat musik penghibur untuk memainkan lagu lagu pop dan sejenisnya. Alat musik ini biasanya jadi musik penggiring acara musik tradisional, sehingga acara adat semakin meriah dan ramai.