Kebiasaan-kebiasaan inilah yang digunakan untuk memahami lingkungan dan menjadi pedoman tingkah laku masyarakat beserta anak cucu di Indonesia. Salah satu bentuk kebudayaan lokal yang masih mengakar dan diyakini oleh masyarakat Desa Kiwangona, Kecamatan Adonara Timur atau Lamaholot. Secara keseluruhan adalah tradisi Bu’a Hira (Bu’a Langu). Secara bahasa “Bua” berarti makan, sedangkan “Hira” berarti dibatasi atau terbatas.
Dalam bahasa setempat, Bu’a Hira memiliki arti makan bersama dengan nenek moyang yang dibatasi atau terbatas sebagai suatu ritus yang khusus dan suci dalam satu keluarga atau suku. Ritus ini digelar sebagai wujud syukur dan terima kasih atas keberhasilan panen kepada Tuhan yang telah memberi kehidupan melalui leluhur agar segalah usaha anggota keluarga memperoleh kesuksesan serta mensyukuri apa yang sudah diperoleh selama ini.
Ritual Bu’a Hira berbentuk perjamuan syukur keluarga yang melibatkan keseluruhan anggota keluarga tanpa terkecuali. Bagi anggota keluarga yang tidak berada saat itu akan diwakili kehadirannya anggota keluarga lainnya. Bu’a Hira ini memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat Lamaholot karena mengandung makna religi ataupun makna sosial.
Perjamuan syukur keluarga ini memiliki banyak berkat sendiri sebagai media untuk berbagi cerita antara generasi muda, anggota keluarga dan petua. Ritual Bu’a Hira juga mengajarkan warga Lamaholot untuk senantiasa bersyukur dan berterima kasih atas apa yang diperoleh dalam kehidupan.
Perjamuan ini merupakan kesempatan yang bermanfaat bagi semua anggota keluarga untuk kembali mengukuhkan ikatan kekeluargaan agar selalu rukun dalam kehidupannya sehari-hari.
Rasa syukur dan terimakasih serta semangat kerukunan tumbuh dalam perjamuan syukur keluarga ini menjadi benih yang harus disebarkan kepada seluruh masyarakat di mana pun ia berada supaya tercipta pula kerukunan hidup dalam masyarakat.
Lain dari pada itu, perjamuan syukur keluarga ini adalah penegasan kembali akan hakekat kemanusian. Siapa pun, apakah dia laki-laki ataupun perempuan memiliki harkat dan martabat yang sama di hadapan Tuhan dan di dalam pandangan keluarganya.
Hal itu terlihat dalam tatacara ritual Bu’a Hira di mana yang yang tua atau dituakan lebih dulu mengambil bagian dalam proses ritual tanpa melihat gendernya (yang menerima bagian ‘ohon hebo’ dan ‘minum tuak’ serta makan hingga diakhiri dengan ‘roko kebako’ dan ‘wua malu’).
Hal ini menunjukan bahwa ikatan kekeluargaan tidak dibangun atas dasar gender dan merupakan pengakuan suci bahwa wanita dan laki-laki memiliki derajat yang sama.
Semangat dari kerukunan tanpa batas gender inilah yang kembangkan lebih luas dalam kehidupan keluarga dan kehidupan masyarakat pada umumnya sehingga kesenjangan gender dalam masyarakat tanah Lamaholot dapat dihapus.