Pada 13 Agustus, Stadion Seribu Bukit di Blangkejeren, ibukota Kabupaten Gayo Lues, dipenuhi oleh ribuan pasang mata dari seluruh penjuru dunia. Mereka datang untuk menyaksikan sebuah pementasan tari yang tak hanya mengagumkan, tetapi juga memecahkan rekor dunia.
Kabupaten Gayo Lues mencatatkan sejarah dengan menampilkan tari kolosal yang melibatkan 12.262 penari, ditambah 15 penari pemandu. Semua penari adalah laki-laki, mewakili 145 kampung dari Gayo Lues dan daerah sekitarnya.
Mereka datang dari berbagai golongan, generasi, profesi, dan latar belakang yang berbeda, namun pada hari itu, mereka bersatu dalam sebuah formasi yang begitu teratur, mengingatkan pada jajaran Bukit Barisan yang mengelilingi Blangkejeren, menyatu dalam keselarasan gerak tari saman.
Tari saman telah berakar kuat dalam masyarakat Gayo, terutama di kaki Gunung Leuser. Tarian ini dikenal luas di Kabupaten Gayo Lues hingga ke Aceh Tenggara, di mana setiap kampung biasanya memiliki pasuken atau grup tari sendiri.
Dikenal sebagai salah satu warisan budaya yang diakui dunia, tari saman mendapatkan pengakuan dari UNESCO pada tahun 2011, masuk dalam daftar Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity. Lebih dari sekadar bentuk ekspresi seni, tari saman mencerminkan kebersamaan dan kekompakan masyarakat Gayo. Ia juga sarat dengan nuansa magis, mengandung doa-doa, ajaran syariah Islam, serta nasihat tentang adat istiadat.
Para penari, yang duduk berbaris rapat dengan bahu bersentuhan, mengingatkan pada keselarasan dalam ibadah salat. Mereka memulai pertunjukan dengan rengum dan salam, diikuti dengan suara dengung rendah yang melantun, seakan-akan menyerahkan diri kepada Tuhan dan memohon izin kepada tamu yang hadir.
Tarian ini memiliki kekuatan yang hampir magis, mampu menggugah dan menggetarkan siapa saja yang menyaksikannya. Gerakan tariannya, yang mengandalkan tangan, tubuh, dan kepala, menciptakan harmoni yang memukau.
Gerakan-gerakan khas seperti guncang, gerutup, lingang, tungkuk, dan anguk, saling berpadu dengan indah. Salah satu unsur yang paling dikenal adalah surang-saring, di mana penari bergerak dengan pola selang-seling secara bergantian dengan tempo yang semakin cepat.
Tantangan dalam menampilkan tari saman bukanlah hal sepele. Setiap penari harus berada dalam kondisi fisik yang prima, karena tarian ini menuntut konsentrasi tinggi, kontrol penuh terhadap kecepatan gerakan, kekuatan tepukan, dan keselarasan dengan penari lain. Selain itu, para penari juga diharuskan untuk bernyanyi, menjaga keindahan suara, kekompakan, dan kekhusyukan.
Meskipun asal-usul tari saman tidak diketahui dengan pasti, salah satu cerita yang populer mengungkapkan bahwa tarian ini bermula dari permainan anak-anak yang menepuk-nepukkan tangan sambil bernyanyi. Pada abad 14 hingga 16, seorang tokoh di Gayo Lues, Syekh Muhammad Saman, mengembangkan permainan tersebut menjadi sebuah tarian sebagai media dakwah Islam.
Hingga kini, tari saman tetap dilestarikan di Gayo Lues dan diajarkan kepada anak-anak sebagai bagian dari warisan budaya. Jika Anda berkunjung ke Blangkejeren, Anda mungkin akan menyaksikan anak-anak berlatih saman, atau bahkan bergabung untuk belajar tari yang asli dari daerah ini.
Di Gayo Lues, tari saman sering menjadi hiburan dalam acara-acara tertentu seperti pesta pernikahan atau hari raya. Salah satu bentuk tari saman yang terkenal adalah saman jalu, di mana dua grup penari saling berhadapan dan pertunjukan ini bisa berlangsung lebih dari sehari semalam, mempererat silaturahmi antar kampung.
Kini, tari saman sering menjadi perwakilan Indonesia dalam acara kebudayaan internasional, kerap mencuri perhatian penonton di seluruh dunia. Pagelaran massal seperti yang terjadi pada 13 Agustus 2017 diharapkan dapat menjadi event tahunan yang lebih besar, membawa nama Tanoh Gayo dan kekayaan budaya Indonesia lebih jauh ke kancah internasional.