Banyuwangi, yang dijuluki sebagai Bumi Blambangan, tak hanya menyuguhkan keelokan panorama alam dari pantai hingga pegunungan. Kabupaten di ujung timur Pulau Jawa ini juga dianugerahi kekayaan sumber daya alam yang melimpah, baik dari sektor pertanian, perikanan, hingga tambang. Tambang Belerang Kawah Ijen.
Salah satu komoditas yang paling mencolok dan unik adalah belerang dari Kawah Ijen—lokasi yang tidak hanya memesona karena keindahan visualnya, tapi juga menjadi saksi bisu ketangguhan manusia dalam menghadapi alam.
Kawah Ijen, yang terletak di ketinggian lebih dari 2.300 meter di atas permukaan laut, dikenal sebagai rumah bagi danau asam terbesar di dunia. Danau ini memiliki warna biru kehijauan yang kontras dengan tebing-tebing tandus yang mengelilinginya.
Salah satu fenomena paling terkenal dari tempat ini adalah blue fire—nyala api biru yang muncul dari pembakaran gas belerang alami dan hanya bisa dilihat di beberapa tempat di dunia. Kombinasi dari fenomena alam yang langka dan keindahan kawahnya membuat Kawah Ijen menjadi salah satu destinasi wisata unggulan Indonesia.

Namun, di balik keindahannya yang eksotis, Kawah Ijen juga menyimpan kisah perjuangan yang luar biasa. Sejak era kolonial Belanda, tepatnya tahun 1911, kawasan ini telah menjadi lokasi penambangan belerang. Setelah Indonesia merdeka, aktivitas ini dilanjutkan oleh pemerintah secara resmi sejak tahun 1968. Yang menarik, hingga hari ini, metode penambangan yang digunakan masih sangat tradisional dan nyaris tidak berubah sejak puluhan tahun lalu.
Setiap hari, para penambang—yang sebagian besar merupakan warga lokal—harus menempuh jalur menanjak sejauh 3 kilometer untuk mencapai puncak gunung. Setelah itu, mereka masih harus menuruni bibir kawah menuju dapur belerang (solfatara) di ketinggian sekitar 2.145 mdpl.
Di sinilah belerang panas dikeluarkan melalui pipa besi dan dibiarkan membeku, lalu dipecah menjadi bongkahan. Para penambang akan memanggul hasil tambangan itu, yang beratnya bisa mencapai 90 kilogram, melewati jalan terjal penuh bebatuan tajam, dan kembali mendaki ke atas. Tidak jarang, satu penambang melakukan dua kali perjalanan bolak-balik dalam sehari demi penghasilan yang tak seberapa.
Mereka melakukan semua itu tanpa perlindungan memadai dari gas beracun. Meskipun para wisatawan yang datang ke Kawah Ijen disarankan mengenakan masker khusus karena paparan gas belerang yang menyengat dan berbahaya, para penambang umumnya hanya mengandalkan kain basah yang dililitkan di wajah mereka.

Akibatnya, banyak dari mereka mengalami gangguan pernapasan kronis, sakit punggung, dan cedera jangka panjang. Media internasional bahkan pernah menyebut profesi ini sebagai salah satu pekerjaan paling berbahaya di dunia.
Meski begitu, para penambang ini tidak hanya dipandang sebagai simbol ketangguhan, tetapi juga telah menjadi bagian dari daya tarik wisata Ijen. Keteguhan dan ketabahan mereka dalam menghadapi kerasnya alam justru mengundang kekaguman para wisatawan yang menyaksikannya langsung.
Ada wacana untuk memodernisasi penambangan belerang di Ijen dengan teknologi industri. Namun, mayoritas penambang lokal justru menolak rencana ini. Mereka khawatir bahwa penggunaan mesin berat akan merusak keseimbangan alam di Kawah Ijen dan menghilangkan mata pencaharian mereka yang telah diwariskan secara turun-temurun. Kawah Ijen bukan hanya ladang penghidupan bagi mereka, tetapi juga warisan budaya dan alam yang ingin mereka jaga.

Hingga kini, tambang belerang Ijen mampu memproduksi sekitar 14 ton belerang setiap hari. Belerang ini memiliki banyak kegunaan, mulai dari industri pupuk, pemutih gula, bahan baku kosmetik, hingga obat-obatan.
Sebagian besar hasil tambang ini diekspor ke negara-negara di Asia Tenggara dan Cina, menunjukkan betapa besarnya kontribusi kawasan ini tidak hanya bagi Banyuwangi, tetapi juga bagi perekonomian nasional.
Namun yang perlu menjadi catatan penting adalah keberlanjutan. Kawah Ijen adalah aset geologis dan ekowisata yang luar biasa. Modernisasi boleh jadi dapat meningkatkan produktivitas, tetapi harus dilakukan dengan bijak agar tidak mengorbankan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan sosial masyarakat lokal.