Di sebuah dunia yang jauh berbeda dari masa kini, lahirlah seorang pewaris kerajaan pada tanggal 20 Januari 1821. Ia diberi nama Gusti Raden Mas Gatot Menol, seorang anak dari Sri Sultan Hamengku Buwono IV dan Gusti Kanjeng Ratu Kencono. Dalam usia tiga tahun, takdir menyeretnya ke tahta setelah wafatnya sang ayahanda, menjadikannya penguasa termuda dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono V.
Dunia kecil sang pangeran berubah menjadi arena yang rumit. Tumbuh di bawah naungan kasih sayang ibunda dan dewan wali yang penuh tanggung jawab, ia dibentuk menjadi sosok yang halus dalam bicara dan enggan memilih kekerasan sebagai jalan keluar.
Sejak masa kecilnya, ia hidup dalam bayang-bayang pengawasan, dengan keputusan-keputusan besar kerajaan dikendalikan oleh para wali—Ratu Ageng, Ratu Kencono, Pangeran Mangkubumi, dan Pangeran Diponegoro. Sementara itu, tangan-tangan kolonial Belanda, melalui Patih Danurejo III dan residen mereka, mengatur alur pemerintahan di balik layar.
Namun, roda sejarah berputar dengan cepat. Tahun 1826, perang besar yang mengguncang pulau Jawa meletus. Perang Jawa, begitu nama yang kelak dikenang, mewarnai tahun-tahun awal pemerintahan sang Sultan muda.
Dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, peperangan ini menjadi perjuangan epik melawan tekanan kolonial. Penghinaan terhadap tradisi keraton, meningkatnya pajak, wabah kolera, gagal panen, dan eksploitasi lahan-lahan keraton oleh orang Eropa menjadi pemicu utama.
Pangeran Diponegoro, dengan daya tarik kharismatiknya, berhasil menyatukan masyarakat yang berbahasa Jawa di kawasan tengah dan selatan pulau. Santri-santri keraton, pelajar pesantren, hingga para pengikut Kyai Mojo bergabung dalam aliansi suci. Bersama-sama, mereka mengguncang fondasi kekuasaan kolonial, menimbulkan kerugian besar bagi Belanda. Ribuan prajurit infanteri, artileri, dan kavaleri dikerahkan, termasuk bala bantuan yang didatangkan langsung dari negeri Belanda.
Namun, Belanda memiliki keunggulan dalam strategi dan teknologi. Pada tahun 1827, di bawah komando Jenderal De Kock, mereka mengepung pasukan Diponegoro di jalur sempit antara Sungai Progo dan Sungai Bogowonto. Setelah pertempuran panjang dan melelahkan, pasukan Diponegoro, yang terkikis oleh waktu dan sumber daya, mulai melemah dan akhirnya jatuh dalam perangkap kolonial.
Di tengah semua itu, Sultan Hamengku Buwono V, meskipun hanya seorang anak muda, menyaksikan kerajaannya berada di pusat badai. Peristiwa-peristiwa besar ini menjadi bayangan panjang yang membentuk karakternya, menggambarkan realitas kekuasaan yang kompleks di dunia di mana kepemimpinan seringkali tidak ditentukan oleh usia, tetapi oleh keberanian untuk bertahan.
Akhir Sebuah Perjuangan, Awal Sebuah Strategi
Pada sebuah pagi yang tenang, Hari Minggu tanggal 28 Maret 1830, konspirasi mencapai puncaknya di Wisma Residen Kedu. Di sana, De Kock dengan taktik dan bujuk rayu, berhasil menangkap Pangeran Diponegoro, sang pemimpin pemberontakan yang telah mengguncang Jawa.
Dengan penuh kehormatan terakhir, sang pangeran yang tak pernah menyerah di medan perang, diangkut menuju Semarang, lalu ke Batavia. Takdir akhirnya membawa beliau ke Manado, kemudian ke Makassar, di mana beliau menghabiskan sisa hidupnya hingga wafat pada tanggal 8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Diponegoro membuka babak baru bagi Keraton Yogyakarta. Perlahan, situasi kembali stabil. Namun, stabilitas ini tidak terwujud tanpa pengorbanan. Sri Sultan Hamengku Buwono V, yang telah menyaksikan dampak perang secara langsung, mengubah pendekatan kerajaannya. Ia memutuskan untuk mendekatkan diri kepada pemerintah Hindia-Belanda. Bukan sebagai bentuk kepatuhan penuh, tetapi sebagai strategi perang pasif—menawarkan perlawanan dalam diam, tanpa pertumpahan darah.
Dengan pendekatan ini, sang Sultan berharap dapat menciptakan kerja sama yang saling menguntungkan, demi menjaga keamanan dan kesejahteraan rakyat Yogyakarta. Dalam masa damai yang terwujud, Sultan lebih memusatkan perhatiannya pada seni dan sastra.
Ia mengarahkan energinya untuk menghidupkan kembali jiwa budaya keraton. Di bawah pengawasannya, banyak karya sastra dan keris pusaka yang dihasilkan, menjadi simbol kekuatan budaya yang tak tergoyahkan di tengah tekanan kolonial.