Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Pangeran Dalam Republik

Pada 5 September 1945, bersama Paku Alam VIII, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarkan maklumat bahwa Yogyakarta adalah bagian dari Republik Indonesia.

Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Di tengah semarak kehidupan Kasultanan Yogyakarta, seorang anak laki-laki bernama Gusti Raden Mas Dorojatun lahir pada tanggal 12 April 1912. Beliau adalah anak kesembilan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng Kustilah, yang bergelar Kanjeng Ratu Alit. Sejak kecil, kehidupan GRM Dorojatun sudah berbeda dari kebanyakan bangsawan keraton lainnya.

Sri Sultan Hamengku Buwono VIII membuat keputusan yang berani dengan menitipkan putranya ke keluarga Mulder, pasangan Belanda yang tinggal di Yogyakarta. Langkah ini bukan sekadar untuk pendidikan, melainkan untuk mendidik beliau hidup seperti rakyat biasa—mandiri, tanpa pengasuh, dan jauh dari kemewahan keraton. Bahkan, di lingkungan keluarga Mulder, nama bangsawan beliau digantikan dengan sapaan akrab “Henkie,” seolah melucuti status kebangsawanannya.

Masa sekolah beliau dimulai di Frobel School, lalu dilanjutkan ke Eerste Europe Lagere School B, sebelum pindah ke Neutrale Europese Lagere School. Selepas pendidikan dasar, GRM Dorojatun melanjutkan studi di Hogere Burgerschool (HBS) di Semarang dan Bandung. Namun, perjalanan pendidikannya di Hindia Belanda harus terhenti ketika Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memutuskan untuk mengirim beliau ke Belanda.

- Advertisement -

Di Negeri Kincir Angin, GRM Dorojatun menyelesaikan pendidikan di Gymnasium sebelum melanjutkan studinya di Rijkuniversitet di Leiden, mendalami ilmu hukum tata negara. Selain belajar, beliau juga aktif dalam kegiatan debat yang dipimpin Profesor Schrieke, menjalin persahabatan dengan Putri Juliana—yang kelak menjadi Ratu Belanda. Di lingkungan akademik itulah, wawasan beliau tentang dunia politik dan hukum semakin terasah.

Namun, tahun 1939 membawa angin perubahan. Ketegangan dunia meningkat seiring tanda-tanda meletusnya Perang Dunia II. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memanggil putranya pulang, meski studinya belum selesai.

Baca Juga :  Sri Sultan Hamengku Buwono I: Arsitek Peradaban Yogyakarta

Setibanya di tanah air, GRM Dorojatun disambut dengan hangat oleh ayahandanya, yang segera menyerahkan Keris Kyai Joko Piturun kepadanya. Penyerahan keris ini menjadi simbol bahwa beliau telah ditunjuk sebagai putra mahkota. Tak lama kemudian, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII wafat, meninggalkan beban takhta di pundak sang putra.

- Advertisement -

Namun, jalan menuju singgasana tidaklah mudah. Sebelum dinobatkan, GRM Dorojatun harus menandatangani kontrak politik dengan pemerintah kolonial Belanda, sebuah tradisi yang diwariskan dari masa Kasultanan Mataram. Negosiasi berlangsung lama dan penuh ketegangan, terutama karena sikap tegas beliau yang menolak beberapa poin dalam kesepakatan, seperti:

  1. Jabatan Patih yang merangkap pegawai kolonial, yang dianggap beliau akan menimbulkan konflik kepentingan.
  2. Penentuan anggota dewan penasihat oleh Belanda, yang dinilai membatasi kedaulatan keraton.
  3. Perintah langsung dari Belanda kepada pasukan keraton.

Setelah empat bulan tanpa titik temu, tiba-tiba GRM Dorojatun menyetujui semua usulan Belanda. Keputusan itu mengejutkan pihak kolonial, namun kemudian beliau mengungkapkan bahwa langkah tersebut berdasarkan intuisi—“Belanda tidak akan lama lagi meninggalkan bumi Mataram,” ujar beliau.

Pada tanggal 12 Maret 1940, kontrak politik yang terdiri dari 17 bab dan 59 pasal ditandatangani tanpa dibaca lagi. Enam hari kemudian, pada Senin Pon, 18 Maret 1940, GRM Dorojatun resmi dinobatkan sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibja Radja Putra Narendra Mataram.

- Advertisement -

Pada hari yang sama, beliau dilantik sebagai raja dengan gelar penuh: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping IX.

Dalam pidato pelantikannya, beliau menyampaikan kalimat yang membekas di hati semua orang, “Saya memang berpendidikan Barat, tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa.” Pernyataan itu menjadi penegasan identitas beliau, seorang pemimpin yang mampu mengintegrasikan wawasan modern tanpa melupakan akar budayanya.

Baca Juga :  Sejarah Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Selatan

Hari itu menjadi awal babak baru dalam sejarah Yogyakarta, di mana tradisi bertemu dengan modernitas dalam kepemimpinan seorang raja muda yang visioner.

- Advertisement -