Sri Sultan Hamengku Buwono IV: Sultan Muda yang Mengubah Sejarah

Di bawah bayang-bayang kolonial, kisah Sultan Hamengku Buwono IV menjadi bukti nyata bahwa bahkan seorang anak muda dapat memikul beban sejarah, meski akhirnya takdir memberinya akhir yang terlalu dini.

Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Dalam dunia yang tengah bergolak oleh perseteruan kolonial dan dinamika politik Jawa, lahirlah seorang anak istimewa pada pagi cerah, 3 April 1804. Gusti Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot, putra bungsu Sultan Hamengku Buwono III dan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hageng, mengawali hidupnya sebagai bagian dari takdir besar. Saat ayahandanya naik takhta pada 21 Juni 1812, sang anak segera ditunjuk sebagai putra mahkota, sebuah beban yang jauh melampaui usianya.

Namun, takdir tidak memberi waktu untuk bersantai. Hanya dua tahun kemudian, pada 9 November 1814, RM Ibnu Jarot dinobatkan sebagai Sultan Hamengku Buwono IV di usia 10 tahun, menyusul wafatnya sang ayah. Usianya yang belia membuat keraton menunjuk wali raja, termasuk Pangeran Notokusumo yang kemudian dikenal sebagai Paku Alam I, untuk mendampingi masa pemerintahannya hingga ia dewasa.

Namun, dalam realitas istana, kekuasaan tidak pernah sederhana. Ketika Inggris bersiap menyerahkan kendali Jawa kepada Belanda pada 1816, roda pemerintahan sehari-hari lebih banyak dijalankan oleh Ratu Ibu dan Patih Danurejo IV. Mereka menjadi pengendali takhta dalam bayang-bayang kolonial, sementara Sultan muda belajar tentang dunia di sekitarnya.

- Advertisement -

Di balik layar, Pangeran Diponegoro, kakak sang Sultan, memainkan peran penting. Seperti Kresna yang membimbing Arjuna, Pangeran Diponegoro sering menanamkan nilai-nilai kebajikan pada adiknya. Dalam kisah yang tercatat di Babad Ngayogyakarta, Diponegoro memperkenalkan Sultan muda pada naskah-naskah klasik seperti Serat Ambiya, Tajus Salatin, dan Babad Keraton. Ia juga membimbing Sultan dalam mempelajari hikmah dari kitab-kitab agama, menghadirkan sosok mentor sekaligus kakak yang penuh kasih.

Namun, bayangan harmoni mulai memudar ketika Patih Danurejo IV semakin memperkuat cengkeramannya di Kasultanan. Kebijakan sewa tanah kepada pengusaha swasta Eropa memicu penderitaan rakyat. Konflik memuncak saat Garebeg Sawal 12 Juli 1820, ketika Pangeran Diponegoro secara terbuka mengecam Patih Danurejo IV di hadapan Sultan. Itu menjadi titik di mana hubungan saudara itu retak, membawa arah baru bagi masa depan Yogyakarta.

- Advertisement -

Pada usia 16 tahun, Sultan Hamengku Buwono IV akhirnya memegang kendali penuh atas keraton. Namun, hanya dua tahun setelah itu, ia meninggal secara mendadak pada 6 Desember 1823, setelah kembali dari pesanggrahannya. Di usianya yang baru menginjak 19 tahun, misteri menyelimuti kematiannya, menjadikannya dikenang sebagai Sultan Seda Besiyar.

Meski masa pemerintahannya singkat, Sultan meninggalkan warisan penting: 18 anak dari sembilan istri. Namun, seperti kerasnya takdir, hampir sepertiga anak-anaknya meninggal di usia muda. Penerusnya, Gusti Raden Mas Gatot Menol, anak dari permaisuri GKR Kencono, diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono V pada usia tiga tahun, melanjutkan cerita panjang dinasti yang terus dibentuk oleh sejarah, perlawanan, dan diplomasi.

Jejak Tertinggal dari Sultan Muda

Masa pemerintahan mandiri Sultan Hamengku Buwono IV, yang hanya berlangsung dua tahun, menjadi bab singkat dalam sejarah Kasultanan Yogyakarta. Dalam waktu yang terbatas itu, kebijakan-kebijakan besar lebih banyak berada di tangan Ratu Ibu, Patih Danurejo IV, dan kekuatan kolonial Belanda. Dengan kendali penuh baru saja mulai, ruang bagi Sultan muda untuk meninggalkan warisan seni atau sastra besar pun menjadi sangat sempit.

- Advertisement -

Namun, di balik bayangan kekuasaan yang terbagi, dua peninggalan berharga tetap mencerminkan kepribadian Sultan Hamengku Buwono IV. Kini tersimpan di Museum Kereta Keraton Yogyakarta, kereta Kyai Manik Retno dan Kyai Jolodoro adalah bukti nyata akan selera estetika dan gaya hidup Sultan.

Kereta kecil ini dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan pesiar Sultan muda, menghadirkan kenyamanan dan keanggunan yang sesuai dengan status seorang raja. Di masa itu, pesiar bukan hanya sarana hiburan, tetapi juga lambang keagungan, tempat Sultan memperlihatkan dirinya sebagai penguasa yang meski muda, tetap memancarkan wibawa.

Meskipun tak ada karya besar yang lahir dari pemerintahannya, Kyai Manik Retno dan Kyai Jolodoro menjadi simbol kecil dari era yang penuh perubahan. Mereka mengingatkan bahwa setiap babak dalam sejarah memiliki cara tersendiri untuk meninggalkan jejak, bahkan di tengah keterbatasan dan tantangan.

Baca Juga :  Sejarah dan Keindahan Istana Raja Larantuka
- Advertisement -