Kebangkitan Kembali Sang Sultan
Tahun 1811 menjadi saksi kekacauan geopolitik di Jawa. Inggris, yang melihat kelemahan Belanda, menyerang dan merebut wilayah Hindia Belanda. Dalam kekosongan kekuasaan tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono II memanfaatkan momen untuk merebut kembali tahtanya. Dengan keberanian yang legendaris, ia menurunkan putranya dan mengeksekusi Patih Danurejo II, yang terbukti bersekongkol dengan Daendels.
Namun, konflik dengan kekuatan kolonial belum berakhir. Di bawah Thomas Stamford Raffles, Inggris mengirim pasukan Sepoy asal India untuk menyerang Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Dalam serangan yang brutal, keraton dikuasai, dan ribuan karya sastra Jawa dijarah. Sultan ditangkap dan diasingkan ke Pulau Pinang, meninggalkan kekosongan kekuasaan di kerajaan.
Lima tahun dalam pengasingan tak memadamkan semangat perlawanan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Pada 1815, ia kembali ke Jawa. Namun, tak lama setelah itu, Belanda yang kembali menguasai Nusantara memutuskan untuk membuangnya ke Ambon pada 1817, melihatnya sebagai ancaman besar terhadap stabilitas kolonial.
Sementara itu, keraton mengalami pergolakan internal. Hamengku Buwono III wafat, digantikan oleh putranya yang kemudian menjadi Hamengku Buwono IV. Namun, kekuasaan Sultan muda ini juga singkat. Setelah kematiannya, Hamengku Buwono V, yang masih belia, naik takhta di tengah bayang-bayang perlawanan besar yang dipimpin Pangeran Diponegoro.
Melihat situasi yang semakin genting, Belanda mengambil keputusan radikal. Sri Sultan Hamengku Buwono II dipulangkan ke Yogyakarta pada 1826 dan diangkat kembali sebagai sultan untuk ketiga kalinya. Beliau memegang peran sebagai penengah di tengah konflik antara keraton dan pasukan Diponegoro.
Pada masa jabatan ketiganya, usia dan kondisi kesehatan Sultan tidak lagi mendukung. Di tengah Perang Jawa yang berkecamuk, pada 3 Januari 1828, beliau wafat setelah menderita sakit. Karena situasi perang yang tidak memungkinkan, prosesi pemakaman dilaksanakan di Kotagede, bukan di Makam Raja-Raja Imogiri seperti tradisi sebelumnya.
Warisang Sri Sultan HB II
Tahun 1828, riuh suara tembakan dan dentuman meriam mengisi udara Yogyakarta. Dalam ruang bawah tanah yang tersembunyi di balik baluwarti Keraton, seorang pengrajin tua menghadap layar interaktif holografik yang memetakan desain benteng pertahanan. Di sekelilingnya, para penjaga keraton berlatih menggunakan senjata berbasis energi kinetik—teknologi yang terinspirasi dari cetak biru Sultan Hamengku Buwono II.
Sultan yang dikenal dengan karakter tegas ini tak hanya memimpin dengan keberanian, tetapi juga dengan inovasi yang melampaui zamannya. Dalam sebuah arsip digital yang disimpan di databank pusat Keraton, tercatat bagaimana ia membentuk korps militer dengan persenjataan lebih canggih untuk mempertahankan kedaulatan Yogyakarta.
Benteng Baluwarti: Perisai Yogyakarta
Benteng baluwarti, sebuah struktur pertahanan monumental, dibangun dengan konsep arsitektur yang memadukan teknologi lokal dan adaptasi asing. Dilengkapi dengan meriam berbasis penggerak hidrolik manual, benteng ini dirancang untuk menghadapi serangan dari berbagai arah. Rekayasa bangunannya memungkinkan daya serap guncangan yang lebih tinggi, menjadikannya pelindung utama keraton di masa-masa genting.
Meriam-meriam tersebut, meski berbasis bahan logam konvensional, memiliki mekanisme rotasi otomatis yang digerakkan oleh sistem katrol. “Ini adalah warisan untuk melindungi tanah dan rakyat kami,” begitu pesan Sultan yang tercatat dalam salah satu prasasti digitalnya.
Namun, tidak hanya dalam bidang militer Sultan meninggalkan jejaknya. Dalam arsip sastra kerajaan, terdapat dua karya epik berjudul Babad Nitik Ngayogya dan Babad Mangkubumi. Kedua karya ini adalah kronik perjuangan pendirian Keraton Yogyakarta yang dihiasi narasi heroik dan strategi pertahanan.
Karya-karya ini tidak hanya bertutur tentang sejarah, tetapi juga menyampaikan pesan moral dan nilai patriotisme kepada generasi penerus. Selain itu, Sultan juga memperkaya khazanah sastra fiksi dengan menciptakan Serat Baron Sekender dan Serat Suryaraja. Yang terakhir bahkan dijadikan pusaka digital, disimpan dalam format kode enkripsi tinggi yang hanya bisa diakses oleh pewaris sah Keraton.
Wayang Kulit dan Wayang Orang: Estetika Perang
Di bawah perintah Sultan, seni pertunjukan pun berkembang pesat. Wayang kulit dengan karakter berwatak perang diciptakan untuk merepresentasikan keberanian rakyat Jawa. Tak hanya itu, Sultan menggubah wayang orang dengan lakon Jayapusaka, sebuah drama epik yang mengangkat tokoh Bima sebagai simbol kejujuran, kekuatan, dan ketegasan—karakter yang merefleksikan dirinya sendiri.
Pertunjukan Jayapusaka dilengkapi dengan kostum berbasis serat logam tipis yang mencerminkan kemajuan teknologi tekstil keraton. Musik gamelan dalam pertunjukan itu diselaraskan dengan alat pengatur ritme otomatis yang diciptakan oleh pengrajin lokal, menjadikan setiap pementasan sebagai perpaduan sempurna antara tradisi dan inovasi.
Warisan untuk Masa Depan
Sri Sultan Hamengku Buwono II adalah cerminan pemimpin yang tak hanya berjuang di medan perang tetapi juga di arena kebudayaan dan inovasi. Warisannya bukan sekadar artefak fisik, tetapi juga sebuah ideologi bahwa perlawanan terhadap penindasan harus dilakukan dengan keberanian, kecerdikan, dan kecintaan terhadap budaya sendiri.
Melalui karya-karyanya, Sultan memastikan bahwa generasi mendatang tidak hanya mewarisi tanah, tetapi juga nilai dan identitas yang mengakar kuat. Sebuah pesan yang terukir abadi di databank digital Yogyakarta: “Jangan biarkan penjajah mendefinisikan takdir kita. Bertahanlah dengan keilmuan, berkaryalah dengan cinta pada tanah air.”