Sop Kapurung Malinau, Jejak Rasa di Ujung Utara Kalimantan

Bola-bola sagu itu seakan menyimpan filosofi sederhana: bahwa identitas sejati tak lahir dari keseragaman, melainkan dari pertemuan dan percampuran yang penuh rasa.

Nagekeo yang Tak Banyak Orang Tahu, Temukan di Edisi Spesial Ini!

Temukan kekayaan budaya, adat istiadat, sejarah, wisata, dan kuliner khas Nagekeo melalui Majalah Digital Dimensi Indonesia. Dikemas secara menarik dengan pendekatan ilmiah yang ringan.
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Kabut pagi masih menggantung di atas aliran Sungai Sesayap ketika aroma gurih ikan rebus menyeruak dari dapur-dapur kayu di Malinau, Kalimantan Utara. Di atas tungku, periuk besar berisi kuah kuning beruap perlahan, sementara di sisi lain, adonan sagu yang telah dilarutkan mulai dibentuk menjadi bola-bola kecil kenyal.

Dari dapur sederhana itu lahir sebuah hidangan yang mengikat beragam budaya dan sejarah perantauan: sop kapurung khas Malinau.

Bagi masyarakat Malinau, sop kapurung bukan sekadar makanan — ia adalah cermin identitas daerah perbatasan yang menjadi tempat bertemunya banyak etnis. Dari Dayak dan Melayu hingga Bugis dan Jawa, semua pernah meninggalkan jejaknya di atas piring.

- Advertisement -

Warisan dari Perantau Bugis

Secara historis, Malinau menjadi salah satu simpul penting dalam jaringan perdagangan antarpulau di masa lalu. Kapal-kapal kecil dari Sulawesi Selatan sering singgah di pelabuhan-pelabuhan Kalimantan untuk berdagang hasil bumi, seperti rotan, damar, dan ikan kering.

Bersama mereka, para perantau Bugis membawa serta resep masakan kampung halaman — salah satunya kapurung, kuliner berbahan dasar sagu yang menjadi simbol ketahanan pangan masyarakat Sulawesi.

Namun, tanah Malinau memiliki keunikannya sendiri. Di sini, bahan pangan yang melimpah berasal dari sungai dan hutan: ikan sungai seperti lais dan baung, serta sayuran liar seperti daun kelakai, pakis, dan rebung muda. Saat bertemu dengan tradisi Bugis yang membawa sagu dan bumbu kacang, lahirlah versi baru yang kini dikenal sebagai sop kapurung Malinau.

- Advertisement -

Proses akulturasi itu membentuk cita rasa khas — kuah kuning dengan sentuhan asam segar, gurih ikan, dan bola-bola sagu yang kenyal. Tak sepekat versi Bugis yang berkuah kacang, tetapi lebih ringan dan beraroma alami khas Kalimantan.

Baca Juga :  Woku Komo-Komo, Olahan Sagu Khas Ambon yang Lezat

Rasa yang Menyatukan Sungai dan Laut

Jika sop kapurung Bugis menggunakan kuah kacang pekat dengan tambahan ayam atau ikan laut, maka sop kapurung Malinau menonjolkan rasa gurih alami dari ikan sungai. Warna kuningnya berasal dari kunyit, memberi kesan hangat dan lembut di lidah.

Setiap suapan adalah perpaduan antara tekstur kenyal bola-bola sagu dan kelembutan daging ikan. Cita rasa asam segar datang dari tambahan belimbing wuluh atau air asam lokal, menyeimbangkan rasa gurih santan dan rempah.

- Advertisement -

Pelengkapnya sederhana, namun menambah karakter: kacang goreng yang renyah dan sambal teri yang gurih-pedas. Sajian ini biasanya disantap hangat di rumah-rumah panggung tepi sungai, sambil berbincang ringan tentang cuaca, sungai, atau hasil tangkapan hari itu.

Kapurung, Papeda, dan Jejak Kuliner Sagu Nusantara

Sagu, bahan utama sop kapurung, merupakan salah satu sumber karbohidrat tertua di Nusantara. Dari Maluku hingga Papua, dari pesisir Sulawesi hingga tepian Kalimantan, pohon sagu menjadi simbol ketahanan hidup masyarakat tropis.

Dalam bentuknya yang beragam — kapurung di Sulawesi, papeda di Papua dan Maluku, hingga linut di Kalimantan Barat — bahan ini menunjukkan betapa sagu bukan sekadar makanan, tetapi representasi hubungan manusia dengan alam rawa dan sungai.

Di Malinau, sagu diperlakukan dengan cara berbeda. Jika papeda dimakan langsung dalam bentuk bubur kental, maka sop kapurung membentuk sagu menjadi bola-bola kecil. Teknik ini tidak hanya memperindah tampilan, tetapi juga memudahkan penyajian dan penyerapan bumbu kuah.

Jejak Multietnis di Meja Makan Malinau

Wilayah Malinau dikenal sebagai daerah yang majemuk. Sensus menunjukkan bahwa di kabupaten ini hidup berdampingan berbagai etnis — Dayak Kenyah, Tidung, Lundayeh, Bugis, dan Jawa — masing-masing membawa tradisi dan rasa yang unik. Dalam konteks itu, sop kapurung Malinau adalah metafora harmoni sosial: setiap unsur kuliner mewakili etnis yang berbeda, namun berpadu menjadi satu cita rasa.

Baca Juga :  Sop Konro, Kuliner Legendaris Makassar yang Wajib Kamu Cicipi

Bagi masyarakat Dayak, kuah ikan dengan sayur hutan mencerminkan kedekatan mereka dengan sungai dan alam. Sementara bagi komunitas Bugis, bola-bola sagu adalah simbol ketekunan dan warisan dari tanah perantauan. Campuran keduanya melahirkan makanan yang tidak hanya lezat, tetapi juga sarat makna.

Filosofi di Balik Kuah Kuning

Dalam banyak tradisi Asia Tenggara, warna kuning pada makanan dianggap melambangkan kemakmuran dan keseimbangan. Dalam sop kapurung Malinau, warna kuning yang berasal dari kunyit juga memiliki fungsi praktis — sebagai penambah aroma dan pengawet alami.

Selain itu, masyarakat Malinau percaya bahwa kuah berwarna cerah membawa semangat dan kesehatan. Tak heran jika hidangan ini sering hadir pada acara keluarga, syukuran panen, atau pesta kampung. Dalam setiap sendok kuah, tersimpan cerita tentang alam, perdagangan, dan kehidupan lintas budaya di jantung Kalimantan.

Hari ini, sop kapurung Malinau mulai dikenal luas berkat festival kuliner lokal dan promosi wisata budaya Kalimantan Utara. Di warung-warung kecil sepanjang Sungai Sesayap, pengunjung bisa menikmati seporsi sop kapurung hangat — cita rasa masa lalu yang tetap hidup di tengah modernitas.