Di rak-rak minimarket modern, kemasan mi instan berwarna hijau kekuningan dengan tulisan Indomie Soto Banjar Limau Kuit tampak mencuri perhatian. Varian rasa khas Nusantara ini menjadi bahan perbincangan hangat setelah otoritas pangan Taiwan menemukan adanya kadar etilen oksida melebihi ambang batas dalam bumbu penyedapnya.
Namun di balik isu keamanan pangan itu, tersimpan kisah panjang tentang akar cita rasa Kalimantan Selatan yang menginspirasi hadirnya varian mi instan tersebut.
Bagi masyarakat Banjar, soto Banjar bukan sekadar hidangan berkuah gurih — ia adalah representasi identitas budaya yang terwariskan lintas generasi. Dan di antara aroma rempahnya yang semerbak, terselip satu unsur kecil yang mengubah segalanya: limau kuit, jeruk khas Kalimantan Selatan yang memberi keasaman lembut dan wangi tajam yang khas.
Limau Kuit: Aroma yang Menyimpan Identitas
Dalam bahasa Banjar, “limau” berarti jeruk, dan “kuit” merujuk pada jenis tertentu yang tumbuh subur di tanah basah hingga pegunungan Kalimantan Selatan. Secara ilmiah dikenal sebagai Citrus hystrix — atau jeruk purut, kaffir lime dalam literatur barat — buah kecil berkulit kasar ini menjadi harta botani yang sering terlupakan.
Menurut penelitian tim dari Universitas Lambung Mangkurat yang diketuai Azidi Irwana, limau kuit tumbuh liar di beberapa daerah sentra pertanian seperti Desa Sungai Tuan, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar. Daunnya sering digunakan dalam masakan, sementara air perasannya memberikan sentuhan asam-pahit yang menonjolkan rasa gurih pada daging dan kuah kaldu.
Namun lebih dari sekadar bahan dapur, limau kuit telah menjadi simbol keotentikan kuliner Banjar. Di banyak rumah, aroma limau kuit yang baru diperas menjadi tanda makan bersama akan segera dimulai — sebuah ritual kecil yang menandai kebersamaan keluarga.
Soto Banjar: Perpaduan Rempah dan Sejarah
Soto Banjar hadir dari percampuran budaya yang kompleks di tepian Sungai Martapura, Banjarmasin. Wilayah ini sejak abad ke-17 menjadi jalur perdagangan rempah penting, tempat bertemunya pengaruh Melayu, Arab, dan Tionghoa. Dari situlah lahir versi soto yang berbeda dari daerah lain di Nusantara.
Kuahnya bening, hasil perebusan ayam kampung dalam waktu lama, diperkaya bumbu seperti kayu manis, kapulaga, biji pala, pekak, dan cengkeh. Paduan rempah kering dan segar menghadirkan aroma menenangkan, seolah mengembalikan siapa pun yang menikmatinya ke masa-masa ketika dapur masih menjadi pusat kehidupan rumah Banjar.
Daging ayam yang disuwir halus, suun yang lembut, perkedel kentang, dan telur bebek — bahan yang melimpah di Kalimantan Selatan — menjadi pelengkap setia dalam setiap mangkuknya. Masyarakat Banjar biasanya menyantapnya bersama ketupat, meski nasi pun menjadi pilihan populer. Dan tentu saja, tak lengkap tanpa perasan limau kuit yang menghadirkan keseimbangan rasa gurih dan asam.
Dari Dapur Tradisional ke Pabrik Mi Instan
Ketika PT Indofood memperkenalkan seri Indomie Kuliner Indonesia, mereka membawa cita rasa lokal seperti Soto Padang, Soto Lamongan, dan Soto Banjar Limau Kuit ke pasar nasional. Varian ini dibuat untuk menghidupkan kembali kekayaan kuliner daerah dalam bentuk praktis, dengan harga sekitar Rp3.200 per bungkus di pasaran.
Deskripsi rasa pada kemasannya mencerminkan karakter kuliner Banjar: kuah segar, sedikit pedas, dan sentuhan asam khas jeruk kuit. Mienya kenyal, bulat, dan disajikan dalam aroma rempah yang menggoda — seolah mengundang siapa pun untuk merasakan “sepotong Kalimantan Selatan” tanpa harus menyeberangi laut.
Namun, pada September 2025, Centre for Food Safety (CFS) Taiwan mengumumkan hasil pengujian yang menemukan kadar etilen oksida sebesar 0,1 mg/kg pada bungkus bumbu penyedap produk tersebut. Menurut peraturan Taiwan, zat tersebut tidak diperbolehkan berada dalam bahan pangan, sehingga produk itu dianggap tidak memenuhi Food Safety and Sanitation Act pasal 15.
Meskipun kasus ini segera direspons oleh pihak perusahaan dan menjadi perhatian regulator di Indonesia, ia membuka perbincangan lebih luas tentang bagaimana warisan kuliner lokal diadaptasi dalam industri global.
Lebih dari Sekadar Soto
Soto Banjar Limau Kuit bukan hanya tentang resep — ia adalah refleksi dari geografi, sejarah, dan filosofi hidup masyarakat Banjar. Di Kalimantan Selatan, makanan selalu berkaitan erat dengan alam. Sungai menyediakan ikan dan transportasi, tanah basah menumbuhkan rempah, dan pohon jeruk yang tumbuh di pekarangan menjadi sumber rasa dalam setiap hidangan.
Dalam konteks ini, mi instan yang mengusung nama Soto Banjar Limau Kuit sejatinya menjadi jembatan antara masa lalu dan modernitas — mengingatkan generasi muda bahwa di balik setiap bungkus makanan praktis, ada kisah panjang dari tanah yang melahirkan rasa itu.
Dari dapur sederhana di pinggiran Sungai Martapura hingga jalur distribusi internasional, aroma limau kuit telah melintasi batas geografis dan waktu. Mungkin kini ia hadir dalam bentuk bumbu instan, namun jejak sejarahnya tetap sama — wangi asamnya menyimpan memori tentang tanah basah, pasar tradisional, dan tangan-tangan ibu yang sabar meracik soto di pagi hari.


