Libur panjang mulai menganggu aktifitas perkuliahan. Bagi yang merindukan kampung halaman, sangat berharap segerah pulang menemui sanak family atau mantan pacar yang mulai jatuh cinta lagi padanya.
Sebelumnya kita telah merencanakan berlibur ke Kabupaten Selayar. Menurut catatan yang kami peroleh dari website resmi dinas pariwisata. Bahwa ada kampung Penyu, ada Kampung Cina, Pasir putih yang indah menakjubkan. Sangat Membuat penasaran.
Maka bertemulah kami di Kampus YPUP untuk membahas hari keberangkatan juga perlengkapan yang akan dibawa.
***
Saya dan Song baru pertama kali berkunjung ke pulau itu. Orang asing seperti kami bisa saja dicurigai teroris oleh warga setempat. Song si wartawan mulai cemas. Karena ketibaan kami di Pelabuhan Feri Kota Selayar pukul 7 malam. Jauh dari waktu perencanaan.
“Dimana kita nginap?” Tanya Song.
“Di rumah warga.”
“Bagaimana caranya?” Tanya Song.
“Tenang saja ada anak Mapala disini,” jawab saya.
Beberapa kilo sudah ditempuh. Motor sudah mulai lelah berjalan. Si Kibo juga mulai lelah menyetir motor dari Makassar. Song juga merasakan bahwa tulang-tulangnya mulai bertukar tempat entah itu dimana.
Tibalah di sebuah kampung. Kami tak tahu apa nama kampung tersebut.
“Song… kita istirahat dulu sebentar di depan warung itu,” tawar saya.
Kreek.. Krook.. bunyi tulang terdengar jelas dari liukan badan Song saat duduk santai di depan balai-balai warung.
“Sepertinya tulang-tulangmu sudah patah berantakan, Song?” canda saya.
Rupanya dari seberang jalan seorang bapak sedang menatap kami penuh curiga dari teras rumahnya. Saya mulai menyapa hangat kepada bapak.
“Assalamualaikum,” salam saya.
Percakapan kami berlangsung alot. Song resah dengan waktu yang mulai larut. Anak laki-laki bapak rupanya kuliah di Makassar. Kami pun mulai akrab. Dan menawarkan bapak bersedia mengantar kami ke kampung penyu untuk nginap malam itu.
Bersama sepupunya, kami menuju kampung penyu. Tentu harus memiliki keberanian. Bagi masyarakat selayar pun sedikit ragu berjalan malam seorang diri. Suasana gelap, sunyi, dan hutan apalagi antara kampung saling berjauhan, pasti membuat siapa pun berpikir dua kali. Tapi bersyukurlah di Selayar bebas penodong. Yang ada hanya binatang ternak dan jalan berliku.
Tibalah kami di Kampung Penyu. Sunyi. Hanya riuh suara ombak sedikit mengurangi kesunyian malam itu. Akhirnya anak lelaki Bapak pamit pulang. Kami sangat berterima kasih karena kebaikan mereka.
Beberapa saat kemudian penjaga pantai Kampung Penyu datang menghampiri. Bertanya maksud kedatangan kami ke Selayar. Diskusinya panjang. Bercerita suka duka bagaimana menjadi pengembang-biakan demi kelangsungan hidup penyu kian terancam.
***
Matahari pagi merekah jingga diatas tenda. Keluarga ayam sudah mematuk-matuk makanan sisa semalam di depan tenda.
Kukuruyuknya panjang dan lucu. Rupanya ayam ketawa sedang menertawai Song yang belum juga bangun. Dan saya asik memotret keindahan pantai Kampung Penyu.
Setelah berpamitan kami bergegas menuju Pantai Baloiya yang katanya indah itu. Dalam perjalanan kami menyempatkan diri untuk singgah di beberapa lokasi wisata prasejarah seperti Kampung Adat, Kampung Cina, Gong Raksasa, dan museum.
***
Akhirnya sampai di Pantai Baloiya setelah menempuh 3km dari Kota Benteng. Tidak begitu ramai di pantai itu, hanya ada beberapa nelayan lelaki tua yang sedang memperbaki pukat dan perahu. Ada juga beberapa pasangan dewasa yang menikmati hari bahagia mereka.
Pantai Baloiya sangat strategis. Letaknya tepat berdekatan jalan poros. Jadi, bisa Anda nikmati kapan saja. Pasir putih yang membentang juga dapat menghibur hati. Angin dan pulau karang kecil serta air laut yang dangkal bisa Anda menikmatinya sesuka hati.
Tidak perlu membayar parkir atau pun yang lainnya. Semuanya gratis. Tetapi yang perlu kita sadari bersama bahwa kebersihan pantai juga bagian tanggung jawab kita. Dengan demikian dapat diniknati anak cucu kita kelaknya juga para wisatawan asing yang terus berdatangan ke Indonesia untuk menikmati keindahan alamnya.