Pertempuran terjadi, termasuk Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667, yang mengakibatkan kerugian bagi Tambora dan kerajaan lainnya. Kerajaan ini menjadi semakin terfragmentasi ketika pemerintahan kolonial Belanda menetapkan peraturan.
Namun, tidak ada yang dapat mengantisipasi atau menghindari letusan Gunung Tambora yang dahsyat pada tahun 1815. Dampak letusan itu sangat mengerikan, dan sejumlah besar penduduk Tambora tewas. Wilayah tersebut menjadi tidak terhuni, dan setelah bencana ini, bekas Kerajaan Tambora digabungkan dengan wilayah Kerajaan Dompu.
Meskipun mengalami bencana besar, Tambora tetap terkenal. Banyak pedagang yang datang untuk menukar barang dagangan mereka dengan barang berharga yang ada di sana, seperti yang diceritakan dalam syair Bo’ Sangaji Kai.
Sekitar tahun 1907, banyak penduduk yang meninggalkan kawasan Tambora, tetapi beberapa peninggalan bersejarah, termasuk bangunan Belanda, masih dapat ditemukan di sekitar situs Tambora. Artefak dan sisa bangunan juga membuktikan bahwa Situs Tambora memiliki sejarah dan peradaban yang beragam jauh sebelum letusan Tambora pada tahun 1815.
Meletus Akibat Kekhilafan Raja
Letusan Gunung Tambora dalam naskah lokal dikaitkan dengan kelalaian Raja Tambora, Abdul Gafur, yang menyebabkan kemurkaan Allah. Cerita ini ditemukan dalam beberapa naskah tradisional.
Menurut cerita dalam Syair Kerajaan Bima karya Khatib Lukman, yang dijelaskan dalam buku “Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah” oleh Henri Chambert-Loir, letusan Gunung Tambora terkait dengan pembunuhan seorang warga keturunan Arab bernama Haji Mustafa.
Haji Mustafa dianggap orang suci oleh penduduk setempat karena selalu memperoleh berkah dari Allah setelah mengunjungi Baitullah. Ketika penduduk setempat mencoba mengusir anjing dari masjid, Haji Mustafa bersikeras dan menyebut siapa pun yang membawa anjing ke dalam masjid adalah orang kafir.
Hal ini membuat raja marah dan memerintahkan pembunuhan Haji Mustafa, yang kemudian dianggap sebagai pemicu kemurkaan Allah dan meletusnya Gunung Tambora.
Dalam kisah lain yang tercatat dalam buku “Asal Mulanya Meletus Gunung Tambora” karya Roorda van Eysinga (terbit 1841), yang didasarkan pada pengalaman C.G.C Reinwardt dan H. Zollinger, cerita ini menggambarkan kunjungan seorang pedagang Arab bernama Said Idrus dari Bengkulu ke Kerajaan Tambora.
Ketika ia mencoba mengusir anjing dari masjid dan mengkritik raja sebagai orang kafir, hal ini membuat raja marah dan memerintahkan pembunuhan Said Idrus. Konon, kemurkaan Allah atas tindakan raja mengakibatkan letusan Gunung Tambora.
Letusan ini menghasilkan lahar, batu, dan pasir yang menenggelamkan Kerajaan Tambora dan Kerajaan Pekat. Tsunami juga melanda kerajaan lain di Sumbawa, termasuk Kerajaan Dompo, Sanggar, Sumbawa, dan Bima.
Dampak letusan Tambora sangat besar, dan Pulau Sumbawa kehilangan banyak penduduknya akibat letusan, wabah penyakit, kelaparan, dan migrasi ke pulau-pulau lain. Cerita dalam Syair karya Khatib Lukman juga mencatat bahwa malapetaka akibat letusan Tambora berakhir setelah orang-orang berdoa dan meminta ampun kepada Allah. Itulah Sejarah Letusan Gunung Tambora.