Sejarah Letusan Gunung Tambora 1815

Gunung Tambora di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat meletus dengan sangat dahsyat pada 10 April 1815. Bahkan jauh lebih dahsyat dari letusan gunung Krakatau tahun 1883. Efek Tambora juga mempengaruhi pertanian di seluruh dunia. Sangat dahsyat!

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Letusan paling dahsyat Gunung Tambora terjadi pada tanggal 10 April 1815. Desa-desa di sekitarnya hancur akibat aliran material vulkanik yang menghantam mereka, menghancurkan daerah seperti Sanggar dan memaksa mereka yang selamat untuk mengungsi. Wilayah-wilayah seperti Dempo dan Bima, di sebelah timur Tambora, juga mengalami akibat yang serupa.

Residen-residen di Jawa memberikan laporan tentang efek letusan Tambora di wilayah mereka masing-masing kepada Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai letnan gubernur Inggris di Batavia.

Surat-surat tersebut, seperti yang terdokumentasikan dalam Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles, Volume 1, mencatat betapa gelapnya hari-hari setelah letusan pada tanggal 10 April 1815. Cahaya matahari tertutup oleh material vulkanik yang beterbangan di langit Jawa dan sekitarnya.

- Advertisement -
Sejarah letusan gunung tambora
Sejarah Letusan Gunung Tambora

Seorang residen di Gresik bahkan mencatat bahwa penduduk setempat mengaitkan letusan Tambora dengan aktivitas supernatural, terutama kisah tentang Nyi Roro Kidul, yang dikenal sebagai ratu pantai selatan Jawa. Mereka percaya bahwa abu vulkanik yang terbawa angin adalah sisa bubuk mesiu dari artileri supernatural milik Nyi Roro Kidul, yang menandai pernikahan salah satu anaknya.

Salah satu laporan yang komprehensif datang dari Letnan Owen Philips, utusan Raffles yang ditugaskan untuk menginspeksi efek letusan Tambora terhadap masyarakat lokal di Sanggar, Dempo, dan Bima, sambil memberikan bantuan logistik.

Menurut laporannya, pemandangan yang dihadapinya amat mengerikan. Mayat-mayat tergeletak di jalanan.

- Advertisement -

“Orang-orang juga menderita penyakit diare akibat meminum air yang terkontaminasi oleh abu vulkanik. Banyak kuda yang mati dalam jumlah besar karena penyebab yang sama,” lapor Philips sebagaimana terdokumentasikan dalam History of Java Volume 1.

Owen berhasil bertemu dengan Raja Sanggar dan keluarganya, yang merupakan saksi hidup dari letusan Gunung Tambora. Dia memberikan laporan terperinci tentang detik-detik terjadinya letusan Tambora, yang kemudian dilaporkan Philips kepada Raffles di Batavia.

Baca Juga :  Filosofi Rumah Adat Berugaq Sekenam, ‘Sekolah’ Suku Sasak

Diperkirakan bahwa sekitar 11.000 orang tewas akibat dampak langsung letusan Tambora, diikuti oleh sekitar 49.000 kematian lainnya akibat kelaparan di Sumbawa, Lombok, dan Bali. Dampak letusan Tambora juga memengaruhi pertanian di seluruh dunia.

- Advertisement -

Peradaban dan Kerajaan Kuat di Tambora

Sejarah Letusan Gunung Tambora. Pada pertengahan abad ke-17, Tambora dan Pekat memiliki peran penting dalam pemerintahan negeri-negeri di Pulau Sumbawa. Dokumen dari abad tersebut menggambarkan bahwa Tambora dan Pekat adalah dua wilayah dengan posisi istimewa dalam hierarki politik Sumbawa.

Seorang peneliti, Sonny C. Wibisono, dalam bukunya yang berjudul “Bencana & Peradaban Tambora 1815,” mengungkapkan peta dari tahun 1659 koleksi KITLV yang memuat gambaran wilayah Tambora dan Pekat. Peta ini adalah salah satu dokumen Barat awal yang menggambarkan wilayah tersebut.

Jauh sebelumnya, sejumlah kerajaan di wilayah Sumbawa sudah dikenal, bahkan sejak masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit. Naskah Negarakertagama mencatat adanya negeri Dompo, Sang Hyang Api, dan Bima. Kemungkinan besar, ketiga kerajaan ini dipengaruhi oleh Majapahit, meskipun dalam catatan sejarah hanya Dompo yang ditaklukkan oleh Majapahit di bawah pimpinan Mpu Nala.

Setelah keruntuhan Majapahit, kerajaan-kerajaan di Sumbawa menjadi mandiri dan pada abad ke-17, mereka berada di bawah pengaruh Kesultanan Gowa-Tallo di Makassar. Pekat, sebuah pelabuhan yang sebelumnya berada di bawah Dompu, juga menjadi bagian dari wilayah ini.

“Saat Kesultanan Goa-Tallo menundukkan Sumbawa, Pekat diserahkan kepada Karaeng Maroanging. Raja Pekat harus memberikan 20 budak sebagai upeti ke Makassar dan membayar upeti dalam bentuk kain tenun yang mereka hasilkan,” seperti yang dijelaskan oleh Sonny.

Meskipun kekuasaan Majapahit tidak ada lagi, hubungan perdagangan antara Sumbawa, Jawa, dan wilayah-wilayah di sekitarnya tetap berlanjut. Pelaut Portugis, Tome Pires dalam Suma Oriental, mencatat bahwa kapal-kapal dari Malaka dan Jawa sering berlabuh di Bima saat mereka melakukan perjalanan ke Maluku dalam pencarian rempah-rempah. Mereka melakukan perdagangan, mengisi persediaan air minum, dan mendapatkan bahan makanan.

Baca Juga :  Asal Usul Kota Ponorogo, Dahulu Bernama Pramono Rogo

Hubungan dagang ini menjadikan Bima sebagai salah satu pusat perdagangan utama di kawasan Nusa Tenggara, meskipun perdagangan ini telah berlangsung sejak zaman Majapahit. Bandar-bandar utamanya terletak di Teluk Sape dan Teluk Bima.

Tambora juga merupakan pusat perdagangan penting dalam wilayah ini. Kerajaan Tambora bahkan berdagang langsung dengan Kerajaan Makassar, yang dibuktikan oleh surat-surat yang masih ada sebagai sejarah tertulis.

Selain kekayaan sumber daya alam, lokasi Tambora yang strategis membuatnya menjadi salah satu wilayah yang cukup signifikan dalam perdagangan. Terletak dekat dengan Labuhan Kenanga dan Teluk Saleh, Tambora berada di jalur lintas perdagangan yang sering disinggahi oleh kapal asing.

“Karena banyaknya aktivitas perkapalan di sekitarnya seperti pantai Kore dan Sanggar, sering terjadi serangan bajak laut,” seperti yang dijelaskan oleh I Made Geria.

Bangsa Belanda pada awal abad ke-17 hingga awal abad ke-19 juga berusaha menguasai wilayah-wilayah ini. Mereka mendekati kerajaan-kerajaan kecil ini, menganggapnya lebih mudah untuk ditaklukkan dan memperoleh akses ke sumber daya alam dan jalur perdagangan yang menguntungkan.

- Advertisement -