Lantas bagaimana sejarah gedung kesenian Makassar ini dimasa lalu? Makassar, sebagai destinasi terkemuka di Indonesia Timur, tidak hanya mempesona dengan spot wisata eksklusif, tetapi juga memiliki warisan kolonial Belanda yang teguh berdiri di tengah gemerlap kehidupan masa kini.
Bangunan-bangunan bersejarah ini menyaksikan pertumbuhan awal Kota Daeng, menelanjangi modernisasi sejak permulaan abad ke-20. Salah satu ikon bersejarah yang mencolok adalah Societeit de Harmonie, sebuah Gedung Kesenian yang megah, terletak di tepi Jalan Riburane, jantung ekonomi Makassar.
Dengan arsitektur Eropa neoklasik yang mencolok, gedung ini menyuguhkan empat pilar anggun di pintu depan dan menara limas berlapis tiga di sayap timur, menambahkan sentuhan keanggunan Eropa, khususnya bagi pecinta bangunan bersejarah.
Berdiri sejak tahun 1896, Societeit de Harmonie pada masa lalu adalah tempat eksklusif bagi komunitas Belanda untuk berkumpul. Pada era 1910-an hingga 1930-an, gedung ini menjadi pusat pesta, jazz, dan hiburan. Societeit de Harmonie muncul sebagai simbol kebudayaan di Makassar, menghidupkan malam dengan musik, pertunjukan, dan hiburan yang tak terlupakan.
Saat musik jazz dari Amerika Serikat merambah ke seluruh dunia pada era 1910-an, alunan trombon, saksofon, piano, bass, biola, dan ukulele memenuhi Societeit de Harmonie setiap akhir pekan, menciptakan suasana meriah dan bersemangat.
Ketokohan gedung ini dalam sejarah musik Indonesia juga mencuat, dengan desas-desus bahwa pencipta lagu kebangsaan, W.R. Supratman, mungkin pernah tampil dengan band jazz-nya, Black White, di lantai dansa Societeit de Harmonie saat merantau di Makassar.
Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), gedung ini berubah menjadi panggung seni yang kreatif. Setelah pendudukan berakhir, seniman lokal tidak sepenuhnya merdeka untuk berkarya di sini.
Gedung Kesenian saat itu dikuasai oleh golongan berpengaruh di Makassar. Menyaksikan kesulitan seniman, Gubernur Sulawesi, Andi Pangerang Pettarani, dengan tekad kuat, mengambil alih kendali gedung ini.
Pasca-kemerdekaan, fungsi gedung meliputi kantor dan tempat pertunjukan. Namun, komunitas seni berharap agar gedung ini diperuntukkan sepenuhnya untuk seni, dengan peningkatan fasilitas pendukung. Semangat ini mencerminkan dorongan untuk memajukan seni dan budaya di wilayah ini.
Di malam hari, pelataran gedung menjadi tempat kumpul para remaja Makassar, menikmati sajian kuliner seperti pisang epe dan nasi kuning. Sebagai bagian dari warisan budaya, Societeit de Harmonie tetap menjadi saksi perkembangan kota Makassar dari masa ke masa.
Itulah sejarah Gedung Kesenian Makassar ini dimasa lalu. Semoga kita bisa menjaga keindahan warisan sejarah ini.