Perjalanan menuju Puncak Malloci dimulai dari Parepare, kota pelabuhan yang berdenyut tenang di tepi Selat Makassar. Dari sini, jalan menanjak perlahan ke arah timur, melintasi hamparan perbukitan dan sawah hijau yang membentang di bawah langit biru.
Sekitar satu jam perjalanan menuju Kabupaten Sidenreng Rappang—atau Sidrap, begitu orang-orang menyebutnya—udara mulai terasa berbeda: lebih sejuk, lebih bersih, dan di kejauhan, tampak samar siluet pegunungan yang memanggil.
Mobil berhenti di Desa Buae, Kecamatan Wattang Pulu. Dari sinilah langkah kaki mengambil alih. Jalan setapak menanjak, berliku di antara pepohonan dan ladang jagung. Tidak sulit, tapi cukup untuk membuat detak jantung bekerja sedikit lebih cepat. Angin lembut menyapa, membawa aroma tanah basah dan suara burung-burung yang seolah mengiringi setiap langkah menuju puncak.
Saat mencapai Puncak Malloci, dunia seakan berhenti sejenak. Dari atas ketinggian ini, Sidrap terbentang seperti lukisan alam—sawah berundak, perkampungan kecil, dan lembah yang diselimuti kabut tipis di pagi hari. Matahari perlahan muncul dari balik perbukitan, memantulkan cahaya keemasan di permukaan tanah, sementara langit di barat masih berwarna biru pucat.
Lihat postingan ini di Instagram
Bagi para pemburu cahaya, inilah momen terbaik di Malloci. Sunrise dan sunset di sini bukan hanya tontonan visual, melainkan pengalaman batin. Pagi hari menyuguhkan ketenangan yang nyaris sakral, sementara senja membawa suasana melankolis yang hangat. Di antara dua waktu itu, pengunjung bisa duduk di rerumputan atau bersandar di batu besar, sekadar menatap cakrawala yang terus berubah warna.
Malloci juga dikenal sebagai tempat yang dekat dengan Kincir Angin Raksasa Sidrap, ikon energi hijau yang berdiri megah di kejauhan. Dari puncak ini, kincir-kincir angin itu tampak berputar perlahan, seperti menandai irama alam yang tak pernah berhenti.
Menariknya, Puncak Malloci bukan destinasi mewah. Tiket masuknya hanya Rp10.000, dan tempat ini buka selama 24 jam. Namun justru kesederhanaan itulah yang membuatnya istimewa. Di malam hari, langit Malloci berubah menjadi hamparan bintang yang nyaris tanpa batas—pemandangan langka bagi siapa pun yang terbiasa hidup di kota penuh cahaya buatan.
Malloci bukan hanya tentang pemandangan, tetapi juga tentang perasaan. Tentang perjalanan sunyi menuju tempat tinggi, tentang udara yang membuat dada terasa lapang, dan tentang kesadaran bahwa keindahan sesungguhnya sering tersembunyi di tempat yang sederhana.
Ketika matahari perlahan tenggelam di balik bukit dan cahaya terakhir memudar, Puncak Malloci mengajarkan satu hal: bahwa perjalanan terbaik bukan hanya soal sampai di puncak, tapi juga tentang cara kita melihat dunia di sepanjang jalan menuju ke sana.


