Dalam perjalanannya menuju tanah rempah Maluku, para pelaut dan pedagang asal Portugis menyinggahi Pulau Siompu, Sulawesi Tenggara. Saat singgah, beberapa dari mereka menikahi perempuan Siompu dan menghasilkan keturunan bermata biru.
Pulau satu ini letaknya di barat daya dari Kabupaten Buton Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Siompu, itulah nama pulau seluas 41,5 kilometer persegi (km2).
Pulau Siompu dibagi menjadi dua kecamatan, yakni Siompu Timur dan Siompu Barat. Pulau Siompu bisa dijangkau lewat perjalanan laut dari Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara, dengan tujuan ke Kota Baubau, Pulau Buton. Perjalanan itu butuh waktu enam jam dengan menumpang feri.
Untuk melanjutkan perjalanan ke Siompu dapat dicapai dengan perahu cepat (speed boat) dari Pelabuhan Topa, Kota Baubau. Tarifnya Rp35.000 per orang dengan lama perjalanan 40 menit.
Siompu dikelilingi oleh laut biru yang masih terjaga kelestariannya. Pasir pantainya putih bersih dan terumbu karangnya pun masih alami. Bukan itu saja, pulau ini mempunyai ikon flora endemik berupa jeruk siompu.
Selain itu, ada satu lagi pesona tersimpan di pulau dengan vegetasi alam berupa perbukitan batu karang dan tebing. Di Kaimbulawa, sebuah desa seluas 9,6 km2 di Kecamatan Siompu Timur terdapat sekelompok warga dengan ciri tubuh unik. Mereka berbola mata biru atau berambut pirang mirip bangsa Kaukasia atau orang Eropa.
Desa Kaimbulawa jaraknya sekitar 10 kilometer dari Lapara, ibu kota Siompu Timur. Untuk bisa bertemu dengan para pemilik mata biru harus menaklukkan jalanan terjal hingga ke perbukitan Kaimbulawa. Di kawasan perbukitan inilah kelompok mata biru bermukim dan menjadi bagian dari populasi 1.010 jiwa masyarakat Kaimbulawa.
Fenomena masyarakat bermata biru ini pertama kali diungkapkan oleh La Ode Yusrie. Saat itu peneliti budaya dan sejarah tersebut, bersama lembaga Summer Institute Linguistic (SIL), sedang melakukan riset mengenai dialek lokal unik di Siompu Timur di awal 2016. Yusrie tertarik dengan ragam tutur berbeda yang dipakai oleh tiga komunitas masyarakat Siompu. Ia meneliti selama enam bulan.
Menjelang akhir kegiatan Yusrie mendapat informasi mengenai adanya komunitas warga dengan ciri fisik unik mirip dengan bangsa Eropa. Ia berharap informasi ini bukan hoaks, karena seingatnya komunitas mata biru hanya ada di Desa Lamno, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh.
Ditemani warga setempat, Yusrie pun akhirnya bertemu dengan warga Kaimbulawa bermata biru. Salah satunya adalah La Dala. Guru sekolah dasar berusia 55 tahun itu berciri fisik seperti diceritakan warga Siompu, yaitu bertubuh tinggi besar sekitar 180 sentimeter dan tentu saja bola matanya biru cerah. Hidung pun mancung dan kulit lebih terang dari warga Siompu kebanyakan.
Keturunan La Dala bermula dari persahabatan Raja Siompu II, La Laja atau La Sampula dengan para pelaut Portugis ketika berburu rempah ke Nusantara pada abad 16. Saking eratnya persahabatan, Raja Siompu II menikahkan putrinya Wa Ode Kambaraguna dengan seorang Portugis, konon bernama Pitter.
Dari pernikahan putri Siompu dan pria Portugis itu lahirlah beberapa anak, termasuk La Ode Raindabula, yang berpostur tinggi, berkulit putih, dan bermata biru. Raindabula merupakan generasi pertama mata biru di Siompu.
Selanjutnya, La Ode Raindabula mempersunting perempuan bangsawan dan memiliki lima anak, antara lain, La Ode Pasere yang merupakan kakek buyut La Dala dari pihak ibu. Menurut La Dala, La Ode Raindabula sudah meramalkan perihal keturunannya yang bakal mewarisi ciri fisik ala Eropa.
Dalam ramalannya, pada keturunan kelima dan keenam akan muncul lagi ciri khas orang Eropa. La Dala sendiri sempat menjadi Kepala Sekolah Dasar 2 Kaimbulawa, Siompu.
Mata biru La Dala ikut menurun kepada Ariska Dala (19) yang merupakan keturunan keenam. Ariska satu-satunya dari enam anak La Dala dengan mata biru. Sepeti juga ayahnya, mata biru Ariska memiliki kemilau indah dan penuh pesona dengan sorot tajam. Raut wajah Ariska tak mirip dengan warga kebanyakan, bahkan lebih mirip gadis cantik Eropa dengan rambut sedikit pirang.