Tidak sembarang orang bisa menjadi punggawa. Selain harus memiliki bakat turun-temurun, mereka juga memegang tanggung jawab spiritual. Sebab bagi masyarakat Bugis, membangun kapal adalah membentuk jiwa baru—pinisi adalah anak, dan punggawa adalah orang tua yang membimbing kelahirannya.
Sakralnya Proses, Agungnya Warisan
Segalanya dimulai dari memilih kayu. Pada hari kelima atau ketujuh tiap bulan, yang dianggap hari baik, para punggawa akan melakukan upacara Anna’bang Kalabiseang, sebuah ritual penurunan lunas kapal—bagian fondasi utama—ke tanah. Kayu yang digunakan pun tidak sembarangan: kayu besi, jati, ulin, dan pude dipilih berdasarkan kekuatannya menghadapi air asin dan waktu.
Setelah lunas, upacara Annattara digelar, melambangkan bersatunya unsur laki-laki dan perempuan dalam pernikahan, sebagai simbol kesatuan dalam kapal. Kemudian lambung kapal disusun, satu papan demi satu, dipasak dan direkatkan seperti bata. Menariknya, berbeda dengan pembuatan kapal modern, pinisi dibentuk dari kulit kapal lebih dahulu sebelum rangkanya.
Seluruh proses tak luput dari ritual. Ketika kapal siap diluncurkan ke laut, upacara Appasili digelar sebagai penolak bala. Setelah terapung, dilanjutkan dengan upacara Ammosi Biseang, simbol pemotongan tali pusar, sebagai bentuk peresmian hidup baru bagi kapal yang kini telah ‘lahir’.
Dari Laut Lepas ke Wisata Mewah
Dahulu pinisi mengangkut rempah dan hasil bumi, kini ia melayani para wisatawan dalam perjalanan mewah di atas laut. Di Labuan Bajo, Raja Ampat, Teluk Jakarta hingga Bali, pinisi menjelma menjadi kapal pesiar lengkap dengan bar, jacuzzi, dan kamar tidur mewah—ibarat hotel bintang lima di tengah samudra.
Harga sewanya? Mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah per malam. Namun esensinya tetap sama: sebuah kapal yang tidak hanya mengarungi lautan, tapi juga merawat warisan.
Pinisi dalam Pandangan Dunia
Tahun 2017, UNESCO menetapkan seni pembuatan kapal pinisi sebagai warisan budaya dunia takbenda. Sebuah pengakuan global terhadap kekayaan ilmu kelautan Nusantara yang telah ada jauh sebelum peta-peta modern digambar.
Di balik layar-layarnya yang gagah, pinisi adalah cerita panjang tentang manusia, laut, dan keyakinan. Ia bukan sekadar alat transportasi, tetapi jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara legenda dan kenyataan. Maka tak berlebihan bila kita katakan, pinisi adalah bukti nyata bahwa benar adanya: nenek moyang kita seorang pelaut.