Pacu Kude, Hiburan Pemersatu Masyarakat Gayo

Di Dataran Tinggi Gayo, dentuman riuh sorak penonton menyatu dengan derap kuda berpacu di lintasan, menghadirkan pesona tradisi pacu kude. Lebih dari sekadar hiburan, perlombaan ini adalah cerminan identitas budaya.

Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Di Tanoh Gayo, tradisi pacu kude seolah menjadi jejak peradaban yang bergema dari masa lalu, menghubungkan generasi demi generasi dalam ritme yang sama. Jika suatu hari Anda berdiri di tepi arena pacuan, dengan langit musim kemarau membentang biru tanpa batas, mungkin Anda akan merasakan seolah-olah waktu di tempat ini tak pernah benar-benar berjalan maju—melainkan berputar dalam lingkaran abadi.

Pada masa itu, sebelum Belanda menjejakkan kaki, pacu kude sudah menjadi denyut nadi masyarakat Gayo. Sebuah tradisi yang tak hanya soal perlombaan, tetapi simbol status, kehormatan, dan keberanian. Di pinggir Danau Lut Tawar yang tenang, arena pacuan dibuat sederhana namun penuh makna.

Sisi barat menghadap danau yang memantulkan bayangan langit, sementara sisi timur dijaga pagar geluni, rotan yang dirangkai tangan-tangan terampil masyarakat setempat. Panjang lintasan hanya 1,5 kilometer, tapi di sanalah kisah hidup manusia dipertaruhkan.

- Advertisement -

Waktu yang dipilih pun bukan sembarangan. Pacu kude digelar saat luwes belang, masa setelah panen padi, ketika hamparan sawah mulai kosong dan masyarakat punya waktu untuk bersuka cita. Bulan Agustus adalah bulan yang ideal—musim kemarau memastikan langit cerah dan tanah kering. Dalam tradisi itu, para joki muda berlaga tanpa mengenakan baju, tubuh mereka dibiarkan terbuka di bawah matahari, seolah menyatu dengan alam yang menjadi saksi.

Namun, tak ada hadiah gemerlap untuk para pemenang. Yang dipertaruhkan adalah gah, marwah yang melekat pada nama dan kebanggaan keluarga. Kemenangan menjadi simbol prestise, yang dirayakan dengan syukuran khas Gayo, bersigenapen. Dalam tradisi ini, seluruh masyarakat bersatu, saling menyumbang untuk merayakan kemenangan dengan makan bersama, musik, dan doa. Bagi mereka, kebahagiaan adalah milik bersama.

Baca Juga :  Gawi Ende Lio, Tarian Persatuan dan Persaudaraan Etnis Lio

Pada tahun 1912, ketika pemerintah kolonial Belanda menjejakkan kaki di Tanoh Gayo, pandangan mereka tertuju pada pacu kude—sebuah tradisi rakyat yang penuh semangat dan kesatuan. Melihat potensi besar tradisi ini sebagai media pemersatu masyarakat, mereka memutuskan untuk memindahkan arena pacuan dari tepian Danau Lut Tawar ke Blangkolak di Takengon, sebuah tempat yang kini dikenal sebagai Lapangan Musara Alun.

- Advertisement -

Di bawah pengaruh Belanda, pacu kude mengalami transformasi. Setiap bulan Agustus, bertepatan dengan perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina, pacuan ini diselenggarakan dengan kemeriahan yang belum pernah terlihat sebelumnya.

Pacu Kude
Pacu Kude

Hadiah-hadiah berupa piagam dan biaya makan untuk kuda mulai diberikan kepada para pemenang, menandai era baru dalam tradisi ini. Lambat laun, kebiasaan ini berakar hingga menjadi bagian integral dari pacu kude yang kita kenal sekarang.

Arena pacuan pun berubah bentuk, dari lintasan lurus menjadi oval, dipagari dengan rotan di kanan dan kirinya. Para joki yang sebelumnya bertelanjang dada mulai mengenakan pakaian berwarna-warni, menambah warna pada tradisi ini. Perubahan ini tak hanya mengukuhkan pacu kude sebagai tradisi lokal, tetapi juga memberinya wajah baru yang lebih terorganisir.

- Advertisement -

Seiring waktu, arena pacuan terus diperbarui. Kini, lokasi pacuan dipindahkan ke tempat yang lebih luas dengan pagar besi yang kokoh dan sistem start modern menggunakan box start. Bahkan, kuda-kuda yang berlari di lintasan tak lagi terbatas pada kuda lokal.

Kuda hasil persilangan, tinggi dan gagah, terutama dengan genetik dari kuda Australia, turut menghiasi arena. Namun, kuda lokal Gayo tetap memegang peran penting, terutama dalam kelas F—kelas tradisional yang masih mempertahankan keaslian pacuan kuda tanpa pelana.

Keunikan lain yang tetap bertahan adalah para joki cilik. Anak-anak dan remaja, sebagian besar masih duduk di bangku sekolah, menjadi pengendara di balik perlombaan ini. Dengan penuh keberanian, mereka mengendarai kuda tanpa pelana, hanya berbekal tali kekang. Namun, untuk kuda-kuda besar hasil persilangan, penggunaan pelana mulai diterapkan demi keselamatan.

Baca Juga :  10 Kebudayaan di Sulawesi Selatan yang Unik dan Paling Populer

Pacuan kuda kini tidak hanya menjadi tradisi, tetapi juga pusat aktivitas masyarakat. Ketika perlombaan berlangsung, lokasi pacuan berubah menjadi pesta rakyat. Pedagang dari berbagai daerah, baik lokal maupun luar kota, memenuhi arena dengan aneka barang dagangan, pakaian, hingga wahana permainan anak. Suasana seperti pasar malam yang meriah menambah daya tarik tradisi ini, menjadikannya lebih dari sekadar perlombaan.

Hingga kini, pacu kude menjadi event tahunan yang ditunggu-tunggu. Di Aceh Tengah, acara ini bahkan diadakan dua kali dalam setahun—pada bulan Februari untuk merayakan ulang tahun Takengon, dan pada bulan Agustus untuk memperingati kemerdekaan Indonesia.

Dengan total empat kali pacuan setiap tahunnya di Dataran Tinggi Gayo, tradisi ini terus hidup dan berkembang, menjadi salah satu daya tarik yang sayang untuk dilewatkan. Jika Anda mengunjungi Gayo, menyaksikan pacu kude adalah sebuah pengalaman yang tak terlupakan, seolah melangkah ke masa lalu yang masih hidup di tengah modernitas.

- Advertisement -