Suku Kajang adalah suku tradisional yang berpusat di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, sekitar 200 km di sebelah timur Kota Makassar. Wilayah Kajang terbagi menjadi delapan desa dan enam permukiman, namun secara geografis dibagi menjadi dua bagian: Kajang Dalam dan Kajang Luar.
Orang Kajang Dalam disebut tau Kajang, sementara mereka yang tinggal di sekitar wilayah Kajang dengan gaya hidup lebih modern disebut tau Lembang. Suku Kajang mendiami Desa Tanah Toa, Kabupaten Bulukumba, yang di beberapa wilayah desanya memiliki pemandangan bukit seperti Lompo Batang, Bawaraeng, dan lembah Bantaeng di sebelah barat, serta gugusan pulau di sekitar Bone di sebelah timur.
Orang Kajang memiliki latar belakang yang bercampur dengan suku Bugis dan Makassar akibat perkawinan antarsuku. Hal ini tercermin dari penggunaan panggilan dalam keseharian mereka. Misalnya, seorang paman atau tokoh yang dihormati disebut purina atau dipanggil Puang—panggilan dari tradisi Bugis.
Sebaliknya, seorang sepupu atau kerabat dekat disebut Simbar Risi dan dipanggil Daeng jika yang menyebutnya lebih muda—panggilan khas Makassar. Jika ada orang Kajang yang berdarah Bugis atau Makassar menjadi karaeng atau pejabat setempat, mereka dipanggil “Puang Karaeng,” di mana Puang mewakili darah Bugis dan Karaeng darah Makassar.
Suku Kajang merupakan masyarakat adat Indonesia yang masih memegang teguh kearifan lokal dan nilai-nilai budaya. Suku ini menjunjung tinggi alam dan memiliki cinta mendalam terhadap lingkungan, terutama hutan yang dianggap sebagai “induk” mereka. Oleh karena itu, mereka sangat menghormati dan melindungi hutan.
Ciri khas masyarakat Kajang terlihat dari pakaian serba hitam dan kebiasaan tidak menggunakan alas kaki. Warna hitam bagi mereka melambangkan kesatuan, kesederhanaan, dan kekuatan. Warna ini juga mencerminkan kesetaraan dan kedudukan di hadapan Sang Pencipta, sekaligus simbol dari komitmen mereka menjaga kelestarian lingkungan, khususnya hutan.
Masyarakat suku Kajang masih teguh memegang norma adat dengan membatasi penggunaan teknologi modern seperti telepon genggam. Sebagai akibatnya, komunikasi di kalangan mereka cenderung dilakukan secara langsung, dari mulut ke mulut.
Warna hitam bagi suku Kajang memiliki makna sakral; siapa pun yang ingin masuk ke wilayah adat Amatoa diwajibkan mengenakan pakaian hitam sebagai tanda persamaan dan kesederhanaan di antara semua orang.
Sebagian besar masyarakat Kajang memeluk agama Islam, namun mereka juga menjalankan kepercayaan adat yang disebut “Patuntung,” yang menekankan hubungan antara Tuhan, tanah, dan leluhur sebagai sumber kebenaran. Mereka percaya bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu dan memiliki kekuasaan yang maha besar.
Sebagaimana masyarakat adat lainnya di Indonesia, suku Kajang memiliki ikatan kuat dengan alam. Meski pengetahuan formal mereka terbatas, mereka paham bagaimana menjaga keseimbangan alam, terutama hutan, yang dianggap sebagai penopang hidup sehari-hari.
Orang Kajang juga menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dalam ajaran adat mereka, seperti siri (rasa malu), kasih pali (pengendalian diri), dan sabala (kesabaran). Nilai-nilai ini menjadi dasar kehidupan mereka yang penuh integritas dan kejujuran.
Mereka juga percaya pada Siri, yang merupakan tindakan yang membawa aib dan dapat dikenai sanksi berat. Selain itu, ada konsep kasimpali yang mengacu pada pelarangan ketat. Pelanggaran terhadap kasimpali dianggap sangat serius, bahkan lebih berat daripada pelanggaran Siri.
Aturan adat suku Kajang melarang penggunaan nama Nabi, malaikat, dan dewa, mengenakan pakaian selain hitam bagi janda selama empat hari setelah kematian suami, serta pembatasan pada bentuk asli rumah dan penggunaan kendaraan bermotor atau benda-benda modern lainnya yang dianggap melanggar nilai adat mereka.