Operasi dikoordinasi Komando Operasi Koteka, sebuah badan gabungan unsur sipil dan militer, yang berpusat di Jayapura. Setahun kemudian, berdasarkan keputusan menteri dalam negeri, operasi ini ditempatkan di bawah Task Force Pembangunan Masjarakat Pedalaman Unit IV dengan nama Bimbingan Masjarakat Pedalaman.
“Acub Zainal menjalankan Operasi Koteka untuk ikut menyiapkan masyarakat Irian berhadapan dengan dunia luar,” tulis Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dalam Acub Zainal: I Love The Army.
Tak cuma koteka, rok jerami yang disebut sale (bagi yang perawan) dan yokal (bagi yang telah diperistri) tak luput dari sasaran. Pemerintah membagi-bagikan pakaian gratis kepada penduduk. Bagi pria diberi jatah dua potong celana pendek berbahan kain sedangkan bagi perempuan mendapat sehelai sarung katun.
Diproyeksikan kebudayaan koteka akan hilang dari muka bumi Irian Barat pada 1973,” ujar Acub Zainal dilansir Kompas, 4 Agustus 1971.
Program ini mendapat penolakan dan perlawanan dari penduduk lokal. Sejumlah laporan menunjukkan adanya aksi pemaksaan seperti penyitaan dan pembakaran koteka, bahkan tindak kekerasan. “Ketika orang Dani menolak upaya pemerintah untuk ‘mencivilkan’ rakyat mereka, mereka ditembak dan dibunuh,” tulis Wyn Sargent, wartawan foto asal Amerika yang datang ke Papua pada 1972, dalam People of the Valley.
Sebuah surat kabar Papua New Guini melaporkan penolakan orang-orang Baliem. Dan segera militer menangkap dan menahan kepala suku Ukomeheri dan Ikimaben. Pada 10 Maret 1973, salah satu dari mereka, kepala Ikimaben, meninggal. “Reaksi atas kematiannya datang berupa pemberontakan rakyat Baliem.
Program itu gagal. Selain menghadapi perlawanan, pemerintah juga tak menindaklanjuti pengadaan pakaian. Fasilitas kebersihan seperti sabun dan deterjen juga tak disediakan. Saat itu belum banyak toko yang menjajakan pakaian dan perlengkapan lainnya.
Upaya ini tentu saja tidak berhasil, karena seperti manusia di mana pun juga, adat istiadat yang telah dibudayakan sejak dini tidak dapat diharapkan berubah secara mendadak. Tanpa dipaksa oleh Operasi Koteka mereka telah keluar dari Zaman Batu dengan sendirinya” tulis Koentjaraningrat dalam Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk.
Hingga kini, sebagian kecil masyarakat Papua masih mengenakan koteka. Anak-anak muda biasanya mengenakannya untuk momen atau acara tertentu. Beberapa sekolah yang mengadakan kegiatan budaya memperbolehkan para siswa menggunakan koteka.
Pada acara-acara bertajuk kebudayaan, seperti festival lembah Baliem ataupun karnaval lainnya, ditemui banyak pemuda berkoteka. Bahkan saat misa paskah, gereja Katolik memperbolehkan jemaatnya memakai koteka selama misa berlangsung.