Koteka, Dianggap Sebagai Lambang Primitif

Koteka mulai dibentuk sejak masa tanam labu. Setelah beberapa bulan tumbuh, labu diikat dengan batu agar diperoleh bentuk tegak lurus.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Pakaian adat Papua ini masih sangat tradisional dan melekat erat dalam kehidupan masyarakatnya tanpa adanya kontaminasi meski perkembangan teknologi sudah semakin maju. Salah satunya Koteka.

Koteka” sendiri berasal dari bahasa Mee, dulu disebut bahasa Ekagi atau Ekari, yang berarti pakaian. Bahasa ini digunakan orang-orang Mee, sebuah suku yang berasal dari daerah bagian barat Pegunungan Tengah di Papua, yang sekarang masuk wilayah kabupaten Paniai, Dogiyai, Deiyai, Intan Jaya, dan Nabire. Nama “koteka” mulai diperkenalkan guru-guru sekolah pemerintah Belanda yang mengajar di lembah Baliem pada akhir 1940 sampai 1950-an.

“Saat ini masyarakat yang masih mengenakan koteka terdapat di wilayah adat Mee Pago (suku Mee dan Moni) dan La Pago (suku Lani, Dani, Yali, Katengban, dan Ngalum). Suku-suku ini kebanyakan bermukim di wilayah Pegunungan Tengah Papua (terbentang dari Danau Paniai, lembah besar Baliem, dan pegunungan Jayawijaya),”

- Advertisement -

Koteka mulai dibentuk sejak masa tanam labu. Setelah beberapa bulan tumbuh, labu diikat dengan batu agar diperoleh bentuk tegak lurus. Untuk mendapatkan bentuk labu yang melengkung, sebelum dipanen, batu yang diikat menggantung tersebut dilepas.

Pembentukan labu punya tujuan tertentu. Dalam lingkungan masyarakat Baliem, bentuk koteka menandakan kelas sosial pemakainya. Koteka yang berbentuk melengkung hanya dikenakan orang-orang yang punya pengaruh dalam masyarakat.

Koteka yang ujungnya melengkung ke depan (kolo) di sandang oleh Ap Kain atau pemimpin konfederasi (pemimpin klan). Golongan menengah mengenakan koteka yang ujungnya melengkung ke samping (haliag). Mereka di antaranya adalah Ap Menteg (panglima perang) dan Ap Ubalik (tabib dan pemimpin adat). Sedangkan yang bentuknya tegak lurus boleh digunakan masyarakat biasa,” ujar Ibiroma.

- Advertisement -

Labu yang siap panen dipetik lalu dikeringkan di perapian. Setelah kering, isi labu dikeluarkan hingga tersisa kulit labu yang keras. Buah labu yang telah dibersihkan kembali dikeringkan di perapian, dan setelah itu dipasangkan ke batang penis.

Baca Juga :  Ke’te Kesu, Desa Tertua di Sanggalangi

“Prosesnya sekitar 1 sampai 2 minggu. Yang lama adalah proses pengeringan. Biasanya dibuat untuk beberapa koteka, tidak hanya satu koteka,” ujar Ibiroma.

Untuk menambah kesan gagah dan daya tarik bagi lawan jenis, ujung koteka biasanya dipasang jambul yang terbuat dari bulu ayam atau burung. Agar tak jatuh saat dikenakan, koteka diikatkan tali halus yang melingkari pinggang.

- Advertisement -

Anak-anak yang telah berusia lima tahun mulai diperkenankan memakai koteka. Setelah terpasang, koteka menyatu dengan pemiliknya. Tak akan diganti sampai rusak.

Sejarah Koteka

Koteka sudah dikenal berabad-abad lalu. Misionaris-misionaris Belanda, yang menempatkan pos pertama mereka di Papua pada 1855, mendorong masyarakat pedalaman untuk meninggalkan kebiasaan berkoteka.

Bagi yang mau bersekolah, mereka memberikan setelan pakaian lengkap. Namun masyarakat di Pegunungan Tengah tak sepenuhnya menanggalkan koteka mereka. Pada 1950-an para misionaris akhirnya fokus pada isu-isu lain dan meninggalkan masalah cara berpakaian.

Koteka menjadi masalah di bawah pemerintahan Orde Baru. Dianggap sebagai perlambang primitif, pemerintah meluncurkan Operasi Koteka pada 1971-1974. Program ini diprakarsai Brigadir Jenderal Acub Zainal, panglima Kodam XVII/Cendrawasih sekaligus wakil ketua Badan Pelaksana Pembangunan Daerah Irian Barat, dan segera disetujui Jakarta.

Program meliputi bidang politik, sosial, dan ekonomi dengan tujuan meningkatkan taraf hidup dan mengembangkan kebudayaan rakyat. Tahap pertama dimulai 17 Agustus 1971, dengan sasaran operasi meliputi Wamena (Lembah Baliem), Enarotali (sekitar Danau Paniai), dan Wagete (sekitar Danau Tigi).

- Advertisement -