Mungkin Anda masih ingat pelajaran sejarah di bangku sekolah—tentang Mataram Kuno dengan Borobudurnya, atau Majapahit dengan Gajah Mada dan Sumpah Palapa yang melegenda. Namun di balik kisah-kisah besar itu, ada satu kerajaan yang kerap terlupakan, meski bertahan lebih lama dari kebanyakan kerajaan seangkatannya: Kerajaan Blambangan.
Nama Blambangan kini lebih dikenal sebagai sebutan puitis untuk Banyuwangi, tapi dulu wilayahnya jauh lebih luas. Dari Banyuwangi hingga Situbondo, Bondowoso, Jember, bahkan Lumajang—semuanya pernah menjadi bagian dari kerajaan bercorak Hindu ini.
Dari Istana Timur hingga Persimpangan Budaya
Akar Blambangan bisa ditelusuri ke akhir abad ke-13, saat Raden Wijaya—pendiri Majapahit—menyerahkan wilayah ‘Istana Timur’ di Lumajang kepada Arya Wiraraja. Dari sinilah cikal bakal Blambangan tumbuh. Letaknya di ujung timur Jawa menjadikannya titik temu budaya, bahasa, dan agama. Tapi posisi strategis ini juga mengundang ancaman dari barat dan timur.
Ketika Majapahit runtuh dan Kesultanan Demak mulai menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke-16, Blambangan bertahan sebagai kerajaan Hindu. Ia dikepung oleh serangan dari Demak dan Mataram di barat, serta pengaruh kerajaan-kerajaan Bali seperti Gelgel dan Mengwi di timur. Namun, Blambangan tetap teguh berdiri.

Situs-Situs Bersejarah yang Terlupakan
Hari ini, jejak kejayaan Blambangan masih tersisa di berbagai titik Banyuwangi. Di tengah belantara Alas Purwo yang misterius, berdiri Situs Kawitan, tempat yang dipercaya sebagai persinggahan terakhir Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Di dekatnya dibangun Pura Giri Salaka, pura megah yang ramai saat upacara Pagerwesi, perayaan umat Hindu untuk menjaga ilmu pengetahuan dari kekuatan jahat.
Lalu ada Desa Macan Putih, dulunya ibukota Blambangan di era Prabu Tawang Alun II. Di sini ditemukan reruntuhan bata, keramik tua, dan patung-patung kecil yang berserakan. Menurut litograf Belanda abad ke-19, dulunya berdiri kuil bercorak putih berhias pahatan macan. Kini, situs ini dilengkapi pendopo kecil—Situs Persemedian Tawangalun, diyakini sebagai tempat bertapa sang prabu.
Di Muncar, Situs Umpak Songo memperlihatkan struktur batu berlubang yang diduga dulunya merupakan bale pertemuan. Di dekatnya berdiri Pura Agung Blambangan, pura terbesar di Banyuwangi, yang masih aktif sebagai pusat ibadah umat Hindu hingga sekarang.
Puputan Bayu: Akhir yang Heroik

Blambangan bertahan dari tekanan politik Mataram dan Bali, tapi akhirnya harus menghadapi kekuatan kolonial: VOC. Perlawanan sengit dipimpin tokoh-tokoh lokal seperti Wong Agung Wilis dan Pangeran Jagapati.
Puncaknya terjadi dalam Perang Puputan Bayu (1771–1772)—perang habis-habisan yang jadi salah satu konflik paling berdarah melawan VOC. Nama “Puputan” sendiri berarti ‘habis’, dan memang begitu kenyataannya—Blambangan jatuh, dan populasinya merosot drastis.
Kini, di Rowo Bayu, berdiri Candi Puncak Agung Macan Putih untuk mengenang para pejuang yang gugur. Setelah perang, pada tahun 1774 pusat pemerintahan dipindahkan ke lokasi Banyuwangi saat ini. Pendopo Sabha Swagata Blambangan, rumah dinas Bupati pertama, Mas Alit—keturunan Prabu Tawang Alun—masih berdiri hingga kini sebagai simbol kesinambungan sejarah.
Warisan Spiritual yang Hidup
Meski mayoritas penduduk Banyuwangi kini memeluk Islam, jejak spiritual Hindu masih hidup kuat. Pura-pura seperti Beji Ananthaboga di lereng Gunung Raung dan Segara Tawangalun di Pulau Merah menjadi pusat spiritual sekaligus destinasi wisata religi.
Upacara Melasti menjelang Hari Raya Nyepi di Pulau Merah bahkan menarik banyak wisatawan, yang menyaksikan prosesi sakral dengan latar senja yang dramatis.