Ja Heda, patung kuda khas masyarakat Nagekeo, memiliki bentuk unik dengan ekor menyerupai naga yang bergerigi. Di atas patung ini, terdapat figur seorang penunggang laki-laki yang digambarkan tanpa busana. Patung ini memiliki makna simbolis yang dalam bagi masyarakat setempat.
Dalam budaya masyarakat Nagekeo, Ja Heda melambangkan keperkasaan, kepemimpinan, dan ketokohan. Patung ini juga terkait dengan mosalaki, sebutan untuk pemuka adat atau pemimpin tradisional.
Kata mosalaki berasal dari bahasa daerah, di mana mosa berarti “besar” dan laki berarti “laki-laki.” Para mosalaki memegang peran penting dalam adat dan budaya setempat, serta bertanggung jawab menjaga harmoni dalam komunitas.
Menurut kepercayaan tradisional, saat seorang mosalaki meninggal dunia, arwahnya diantarkan oleh kuda gagah yang berekor naga. Oleh karena itu, proses pembuatan Ja Heda melibatkan ritual adat yang panjang dan penuh makna. Bahkan, masyarakat percaya bahwa patung ini memiliki nilai mistis dan dianggap “hidup” oleh para pemangku adat.
Bo Heda: Lumbung Tanduk Kerbau
Ja Heda biasanya diletakkan di ujung kampung, di lokasi yang disebut eko bo’a. Patung ini dinaungi oleh bangunan beratap alang-alang seperti lumbung, yang disebut Bo Heda. Lumbung ini digunakan untuk menyimpan tanduk kerbau yang berasal dari ritual adat besar, seperti Pa bhe, upacara gabungan beberapa suku.
Tanduk-tanduk tersebut sering kali berukuran sangat besar, dengan panjang mencapai tiga meter, yang menggambarkan betapa megahnya kerbau yang menjadi bagian dari tradisi ini.
Patung Ja Heda yang dibahas dalam tulisan ini berada di Kampung Wisata Boawae, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo. Lokasinya mudah dijangkau, hanya sekitar 500 meter dari jalan nasional, dengan pintu masuk dekat Gereja St. Fransiskus Xaverius Boawae. Selain Ja Heda, di kampung ini juga terdapat wisata sejarah lainnya, seperti makam para raja dari masa kerajaan dulu.
Kuda Kayu Nagekeo yang Diakui DuniaÂ
Kuda kayu besar (ja heda atau jara heda), dengan pengendara leluhur laki-laki atau pasangan leluhur laki-laki dan perempuan, merupakan salah satu patung animisme terbesar dan paling menarik di Asia Tenggara. Patung ini ditempatkan di depan kuil klan (sao heda) di daerah Nagé dan Kéo, Flores Tengah, yang tak jauh dari tempat penemuan Homo floresiensis (dikenal sebagai “hobbit”).
Di Flores, keturunan bangsawan dari pendiri desa memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan dengan klan lainnya. Ja heda selalu terkait dengan keturunan pendiri desa-desa besar. Dalam budaya Indonesia timur, kuda melambangkan kekuatan serta keterampilan berburu (termasuk perburuan kepala) dari pemimpin atau kepala suku setempat. Motif kuda sering ditemukan dalam seni yang berhubungan dengan keluarga bangsawan.
Pembuatan ja heda dan pendirian kuil klan baru memerlukan banyak kekayaan dan ritual yang rumit, termasuk pengorbanan banyak kerbau untuk leluhur selama proses ini. Ja heda berfungsi sebagai penjaga di pintu masuk kuil klan, tempat di mana pusaka suci klan disimpan, seperti tekstil, tanduk kerbau, gading, dan emas. Di dalam kuil juga terdapat patung-patung kayu leluhur.
Ukuran besar ja heda, yang berdiri tinggi di atas tiang panjang, membuatnya menjadi pelindung yang kuat. Patung ini dipercaya sebagai penjaga roh yang dapat memberikan kekayaan dan kekuasaan, serta melambangkan kuda (jara) dan naga berkepala kuda (naga). Ukiran di samping kuda sering ditemukan juga pada seni lain di Flores Tengah, seperti pada tekstil, perhiasan emas, dan rumah-rumah klan.
Dalam kepercayaan animisme Indonesia, leluhur dianggap sebagai pasangan yang bersama-sama menciptakan alam semesta dan komunitas yang kini menghormati mereka. Dalam pandangan kosmologi yang mengakui pentingnya keseimbangan antara elemen laki-laki dan perempuan, penggambaran pasangan leluhur (ana deo) sangat tepat.
Namun, jika hanya pengendara laki-laki yang muncul, kuda dan pengendaranya melambangkan elemen laki-laki, sedangkan kuil klan dianggap melambangkan elemen perempuan. Hal ini juga terjadi di daerah Ngada, di mana leluhur laki-laki diwakili oleh tiang beratap, sementara perempuan dilambangkan dengan bentuk rumah kecil.
Patung yang baru saja diperoleh Galeri Nasional Australia ini menampilkan pasangan leluhur yang diukir dengan indah. Sosok perempuan duduk menyamping dengan tangan menyentuh bahu pasangan laki-lakinya yang memegang kendali dengan percaya diri.
Figur-figur berkuda ini melambangkan pendiri desa besar yang memiliki kekuatan luar biasa, sehingga mereka bisa menunggangi dan terbang bersama naga. Patung ini juga menampilkan simbol kesuburan melalui penggambaran penis yang tegak pada kuda dan pengendaranya.
Patung langka ini menjadi karya penting dalam pameran Life, Death and Magic: 2000 Years of Southeast Asian Ancestral Art di Galeri Nasional Australia, dan akan dipajang secara permanen sejak 2011 di galeri Asia Tenggara.