Hintalu Karuang, Manisnya Telur Kelelawar dari Dapur Banjar

Dari pasar tradisional di tepian Sungai Martapura hingga meja makan di kota besar, manisnya hintalu karuang terus mengalir seperti sungai yang menjadi nadi kehidupan masyarakat Banjar.

Nagekeo yang Tak Banyak Orang Tahu, Temukan di Edisi Spesial Ini!

Temukan kekayaan budaya, adat istiadat, sejarah, wisata, dan kuliner khas Nagekeo melalui Majalah Digital Dimensi Indonesia. Dikemas secara menarik dengan pendekatan ilmiah yang ringan.
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Di sebuah sudut pasar tradisional di Banjarmasin, aroma santan hangat dan gula merah tercium lembut di antara hiruk-pikuk pedagang. Di atas wajan besar, butiran bulat-bulat kecil berwarna cokelat keemasan tampak bergoyang dalam kuah kental beraroma pandan. Itulah hintalu karuang — kudapan manis khas Banjar yang namanya selalu memicu rasa penasaran.

Dalam bahasa Banjar, hintalu berarti “telur”, sementara karuang berarti “kelelawar”. Sekilas, nama itu terdengar aneh, bahkan ekstrem. Namun jangan terburu jijik. Tidak ada unsur kelelawar dalam hidangan ini. Sebutan “telur kelelawar” hanyalah kiasan, lahir dari imajinasi masyarakat Banjar yang menamakan makanan berdasarkan bentuk dan kebiasaan alam di sekitar mereka.

Bola-bola kecil dari tepung ketan yang terapung di dalam kuah manis santan memang menyerupai telur-telur kelelawar yang bergelantungan di langit-langit gua. Dari situlah nama hintalu karuang melekat hingga kini — sebuah metafora yang memperlihatkan kedekatan masyarakat Banjar dengan alam dan bahasa simbolik yang khas.

- Advertisement -

Jejak Rasa dari Tanah Banjar

Bubur ini termasuk dalam kelompok wadai Banjar, istilah lokal untuk kue atau kudapan tradisional. Dalam budaya Banjar, wadai bukan sekadar makanan kecil — ia adalah bagian dari ritual sosial dan keagamaan, terutama pada bulan Ramadan atau perayaan keluarga.

Di pagi hari, para penjual di pasar-pasar tradisional seperti Pasar Lama Banjarmasin atau Martapura biasanya sudah menyiapkan panci besar berisi hintalu karuang. Kuah santannya kental dan harum, berpadu dengan gula merah cair yang menimbulkan warna keemasan. Ketika disendok ke mangkuk, aroma daun pandan menyelimuti udara, menciptakan sensasi nostalgia yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang tumbuh di tepian Sungai Barito.

Teksturnya menjadi keunikan tersendiri. Bola-bola ketan terasa kenyal, hampir seperti cendil dalam bubur candil Jawa, tetapi versi Banjar ini lebih lembut dan tidak terlalu manis. Ketika disantap bersama santan gurih, rasa manisnya menyatu, menciptakan keseimbangan yang khas dari kuliner Kalimantan Selatan — sederhana, namun kaya cita rasa.

- Advertisement -
Baca Juga :  Kaledo, Sajian Tradisional Khas Palu Kesukaan Para Raja

Nama dan Imajinasi dalam Dapur Banjar

Hintalu Karuang
Hintalu Karuang

Orang Banjar dikenal memiliki cara unik dalam menamai makanan. Nama-nama seperti bingka barandam, amparan tatak, hingga wadai ipau sering memancing senyum karena keunikannya. Setiap nama membawa cerita — tentang bentuk, bahan, atau bahkan legenda kecil di balik dapur tradisional.

Dalam hal ini, hintalu karuang adalah contoh bagaimana masyarakat Banjar mengekspresikan imajinasinya lewat kuliner. Kata “karuang” (kelelawar) tidak dimaksudkan untuk menjijikkan, melainkan untuk menggambarkan bentuk bulatan kecil yang menggantung. Imajinasi seperti ini menunjukkan bagaimana masyarakat Banjar memandang makanan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari yang dekat dengan alam dan humor rakyat.

Menurut sejarawan kuliner Kalimantan, pola penamaan ini muncul dari tradisi lisan yang kuat di masyarakat Banjar. Cerita dan nama diwariskan dari mulut ke mulut, bukan dari buku resep. Maka, setiap nama membawa jejak sejarah — seperti aroma santan yang menempel lama di dapur kayu.

- Advertisement -

Filosofi Kesederhanaan

Bahan-bahan pembuat hintalu karuang begitu sederhana: tepung ketan, tepung beras, gula merah, dan santan. Semua bahan ini mudah ditemui di pasar atau di kebun masyarakat. Namun, dalam tangan-tangan ibu Banjar, kesederhanaan itu berubah menjadi kemewahan rasa.

Merebus bola-bola ketan hingga mengapung membutuhkan kesabaran. Santan harus dipanaskan perlahan agar tidak pecah, sementara gula merah disiapkan hingga larut sempurna. Tak heran jika hidangan ini sering hadir pada momen-momen istimewa — takjil berbuka puasa, acara keluarga, atau sekadar camilan sore di tepi sungai.

“Setiap sendok hintalu karuang seperti membawa kenangan masa kecil,” ujar Nur Aisyah, pedagang wadai di Pasar Sentra Antasari, yang telah menjual bubur ini selama lebih dari dua dekade. “Dulu kami bantu ibu bikin bola-bola kecilnya. Sekarang anak-anak saya yang bantu saya.”

Baca Juga :  Legenda Pa’piong: Makanan, Ritual, dan Cinta yang Menembus Waktu

Lebih dari Sekadar Bubur

Di tengah modernitas yang serba cepat, hintalu karuang tetap bertahan sebagai simbol kehangatan rumah Banjar. Ia bukan sekadar bubur manis — ia adalah cerminan cara hidup yang menghargai waktu, kebersamaan, dan warisan nenek moyang.

Dalam setiap bulatan ketan yang mengapung di kuah santan, tersimpan filosofi sederhana: bahwa kebahagiaan bisa tumbuh dari hal-hal kecil, selama dibuat dengan cinta dan ketekunan.

Jejak Rasa yang Melintasi Generasi

Seiring berkembangnya kuliner modern, hintalu karuang mulai muncul dalam versi baru — dengan warna-warna alami dari daun suji atau ubi ungu, bahkan dikemas dalam bentuk beku untuk pasar luar daerah. Namun aroma santan dan gula merah yang khas tetap tak tergantikan.

Dari pasar tradisional di tepian Sungai Martapura hingga meja makan di kota besar, manisnya hintalu karuang terus mengalir seperti sungai yang menjadi nadi kehidupan masyarakat Banjar. Ia bukan hanya kuliner, melainkan cerita — tentang alam, tentang ingatan, dan tentang cinta yang diwariskan lewat rasa.