Di antara deretan kue tradisional yang kerap menghiasi tampah saji di acara-acara Betawi, nama kue cucur selalu menonjol dengan warna cokelat karamel yang mengilap. Kue satu ini ibarat “bintang lama” yang tak pernah kehilangan penggemarnya.
Cucur terbuat dari campuran tepung beras dan gula merah yang dilarutkan, lalu digoreng dengan teknik khusus hingga menghasilkan pinggiran tipis melebar seperti renda, sementara bagian tengahnya tebal dan empuk. Proses ini menjadi penentu kelezatan cucur, sebab jika suhu minyak tidak tepat, adonan akan menyerap terlalu banyak minyak atau gagal mengembang sempurna.
Dalam tradisi Betawi, kue cucur memiliki makna filosofi mendalam. Bentuknya yang bulat melebar diibaratkan sebagai lambang rezeki yang terus meluas dan berkah yang menetes dari Yang Maha Kuasa kepada manusia. Tak heran jika cucur selalu ada dalam acara syukuran, kenduri, khitanan, pernikahan, hingga acara Maulid Nabi.
Kehadiran kue cucur tak hanya populer di Betawi, melainkan juga di berbagai wilayah Nusantara. Di Tanah Sunda, kue cucur sering dijadikan hantaran saat lamaran, sedangkan di Bali, cucur—yang disebut jaje cucur—menjadi persembahan dalam upacara keagamaan. Meski nama dan ritualnya berbeda, maknanya sama: sebagai simbol manisnya harapan dan doa.
Jika menilik sejarahnya, cucur telah hadir sejak masa lampau ketika masyarakat Indonesia masih mengandalkan gula aren atau gula kelapa sebagai pemanis utama. Oleh sebab itu, warna cokelat tua pada kue cucur tidak hanya menggugah selera, tetapi juga menandakan penggunaan gula asli tanpa pemanis buatan.
Hingga kini, kue cucur tetap dijajakan oleh pedagang tradisional di pasar-pasar, meski tidak semudah dulu menemukannya. Para pembuat cucur mempertahankan teknik tradisional: mengaduk adonan berulang kali agar gula larut sempurna, memanaskan wajan cekung kecil dengan minyak sedikit, dan menyiramkan adonan dari ketinggian agar mengembang cantik. Proses yang terkesan sepele ini justru menjadi rahasia kelezatan cucur yang tidak bisa ditiru oleh mesin modern.
Saat digigit, bagian tengah cucur akan terasa empuk, legit, dan lembap, sedangkan pinggirannya menghadirkan kerenyahan ringan. Biasanya, kue cucur disajikan di atas daun pisang, menambah aroma wangi alami yang khas jajanan pasar.
Di balik rasa manisnya, kue cucur mengajarkan kita tentang filosofi hidup masyarakat Betawi: sederhana, membumi, dan selalu memberi makna dalam setiap sajian. Selembar cucur adalah selembar cerita tentang tangan-tangan sabar yang meracik, doa-doa yang disematkan saat membuat, dan kehangatan keluarga yang tak pernah usang dimakan waktu.