Di bawah langit biru yang terik, di tengah sawah yang mulai menguning, suara denting kayu bertalu-talu memecah keheningan. “Tuk… tak… tuk… tak…” — ritme itu berpadu dengan tawa para wanita Madura yang berdiri berjejer, menumbuk padi dengan penuh semangat. Dari balik gerak yang sederhana itu, lahirlah harmoni yang disebut dukka ronjangan — permainan tradisional yang sesungguhnya adalah musik kehidupan petani.
Permainan ini bukan hanya tentang hiburan, melainkan juga ungkapan rasa syukur. Di tanah subur Bangkalan, Madura, dukka ronjangan tumbuh dari kerja keras dan keceriaan para petani yang merayakan panen mereka.
Dari Lumbung ke Panggung
Nama dukka ronjangan berasal dari dua kata dalam bahasa Madura: dukka, yang berarti membunyikan, dan ronjangan, wadah besar dari kayu tempat menumbuk padi. Dahulu, ronjangan menjadi benda penting dalam rumah-rumah petani. Di sanalah butiran padi kering ditumbuk menjadi beras, dan di sanalah bunyi khas kehidupan pedesaan lahir.
Ketika musim panen tiba, para wanita desa berkumpul di halaman rumah. Mereka menumbuk padi bersama, bukan sekadar bekerja, tapi bermain dengan irama. Dentuman alu yang menghantam ronjangan menghasilkan nada-nada alami — tak terlatih, tapi teratur. Dari sinilah permainan dukka ronjangan lahir, sebuah simfoni rakyat yang menggambarkan hubungan manusia dengan alam dan kerja.
Harmoni dari Gerak yang Teratur
Untuk memainkan dukka ronjangan, biasanya dibutuhkan sebelas wanita, berdiri sejajar di sepanjang ronjangan besar. Masing-masing memegang alu kayu berat, dan setiap hentakan mereka harus selaras. Gerak satu orang yang terlalu cepat atau lambat bisa memecah irama, karena permainan ini menuntut keselarasan hati dan tubuh.
Irama yang dihasilkan bukan kebetulan — ada pola, ada tempo. Kadang cepat seperti tarian, kadang lambat seperti kidung. Dari kejauhan, dentuman itu terdengar seperti musik bambu, seolah sawah pun ikut berdendang.
“Dukka ronjangan bukan sekadar permainan,” ujar seorang warga tua di Bangkalan dalam catatan etnografi lokal. “Ia adalah cara kami merayakan panen, mengucap syukur, dan merasakan kebersamaan setelah bekerja keras.”
Dari Tradisi Panen ke Pertunjukan Budaya
Lambat laun, dukka ronjangan melangkah keluar dari lumbung dan halaman rumah. Ia naik ke panggung-panggung acara rakyat, tampil di pesta pernikahan, syukuran, hingga festival budaya. Dentuman alu kini diiringi dengan nyanyian rakyat Madura, terkadang disertai tarian ringan yang mengikuti irama kayu yang berpadu.
Bagi sebagian besar penonton, pertunjukan ini bukan sekadar nostalgia, tapi juga bentuk penghormatan kepada para perempuan desa — simbol ketekunan dan keteguhan yang menjaga tradisi di tengah arus modernitas.
Nada Kehidupan yang Mulai Memudar
Namun kini, dukka ronjangan semakin jarang terdengar. Di banyak desa, alat penumbuk padi telah tergantikan mesin giling modern. Irama kayu yang dulu menjadi nyanyian musim panen kini terdiam di pojok rumah, terselimuti debu dan waktu.
Beberapa sanggar budaya di Madura berusaha menghidupkannya kembali, menjadikannya pertunjukan edukatif bagi anak muda. Di festival panen, kadang masih terdengar bunyi dukka ronjangan dimainkan, sebagai penanda bahwa kerja keras dan kebersamaan tetap menjadi napas utama budaya Madura.
Sebuah Simfoni yang Tak Pernah Benar-Benar Hilang
Di setiap hentakan alu yang menumbuk padi, tersimpan kisah tentang kesabaran, kebersamaan, dan rasa syukur. Dukka ronjangan adalah cermin dari cara hidup yang sederhana namun penuh makna — bagaimana masyarakat petani memaknai kerja sebagai perayaan, dan bunyi kayu sebagai lagu kehidupan.
Dan meski waktu telah berubah, gema itu seolah masih bisa didengar di antara ladang Madura yang luas — ritme lembut yang mengingatkan kita bahwa dari suara paling sederhana pun, lahir kebudayaan yang agung.


