Kabupaten Enrekang, di jantung Sulawesi Selatan, bukan hanya terkenal dengan bentang alam pegunungannya yang menawan. Di balik lembah hijau dan kabut yang turun pelan setiap pagi, tersimpan kisah panjang peradaban manusia. Salah satunya ada di Desa Kadingeh, Kecamatan Baraka — sebuah desa yang menyimpan situs misterius bernama Makam Tua Manduk Patinna.
Bagi sebagian orang, tempat ini mungkin terasa menakutkan: ratusan tengkorak, peti kayu kuno, dan jejak-jejak leluhur yang sudah ratusan tahun berdiam di bawah rindang pepohonan. Namun bagi warga Kadingeh, Manduk Patinna adalah simbol penghormatan terhadap masa lalu — sebuah ruang sunyi tempat sejarah dan spiritualitas bertemu dalam harmoni.
Menapaki Jalan Menuju Hutan
Perjalanan menuju makam tua ini dimulai dari pusat Desa Kadingeh. Jalan setapak dari Dusun Dea Kaju mengarah ke arah hutan di kaki tebing. Tidak ada kendaraan yang bisa masuk; satu-satunya cara adalah berjalan kaki. Butuh sekitar 20 menit berjalan di antara pepohonan besar dan suara serangga yang tak pernah berhenti.
Begitu langkah semakin dalam, udara berubah lembap, dengan aroma tanah dan dedaunan basah. Di kejauhan terdengar gemericik air dari sungai kecil. Di sinilah, di balik lebatnya hutan, Manduk Patinna berdiri dalam diam.
Penjaga situs, Yadukallan, sudah menunggu di ujung jalan tanah. Dengan pakaian sederhana dan senyum ramah, ia memberi peringatan sebelum kami masuk ke area makam.
“Jangan berbicara kasar, jangan memegang tengkorak, dan jangan bercanda berlebihan,” katanya lembut. “Kita harus menghormati leluhur.”
Nada suaranya membuat udara sekitar terasa lebih tenang — atau mungkin justru lebih sakral.
Di Antara Ribuan Tengkorak dan Peti Kayu Kuno
Begitu melangkah ke area makam, pemandangan yang tersaji terasa seperti melangkah ke masa lampau. Ratusan tengkorak tersusun rapi di tebing batu, sebagian di dalam peti kayu tua yang mulai lapuk dimakan waktu. Ada pula sisa-sisa tulang belulang yang terbungkus anyaman bambu.
“Kalau dihitung-hitung, bisa ribuan,” ujar Yadukallan pelan. “Mungkin lebih banyak dari yang ada di Toraja.”
Di beberapa sudut, masyarakat desa membangun jembatan bambu kecil agar pengunjung bisa melihat dengan aman tanpa mengganggu susunan makam. Pemandangan ini begitu kuat — antara rasa takjub, haru, dan hormat bercampur menjadi satu.
Beberapa benda pusaka juga pernah ditemukan di sekitar area: sumpit pemburu, sisir bambu, gelang tradisional, hingga pecahan piring kuno. Semuanya kini disimpan di museum kecil milik desa agar tetap terjaga.


