Di antara riuh pasar pagi Banjarmasin, aroma gula merah yang berpadu dengan wangi kayu manis seolah memanggil langkah siapa pun yang melintas. Di meja kayu sederhana, mangkuk-mangkuk kecil berisi potongan kue berwarna kuning kecokelatan tampak “berenang” di dalam kuah manis berkilau. Dialah bingka barandam — salah satu warisan kuliner Banjar yang manisnya bukan hanya di lidah, tapi juga di dalam cerita.
Manis yang Terjun ke Dalam Gula
Nama “bingka barandam” berasal dari bahasa Banjar: barandam berarti “berendam”. Sebutan ini bukan tanpa alasan. Setelah matang, potongan kue bingka yang lembut akan “terjun” ke dalam air gula merah hangat.
Dalam beberapa daerah, masyarakat menyebutnya alua tarjun — alua berarti manis, tarjun artinya terjun. Sebuah metafora yang indah, seolah menggambarkan bagaimana kue ini menenggelamkan dirinya dalam lautan rasa.
Murdijati Gardjito, dalam buku Ragam Kudapan Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan, menyebut bingka barandam sebagai salah satu kudapan manis paling khas dari tanah Banjar. Ia tak hanya menjadi camilan, tapi juga bagian dari tradisi: kue yang selalu hadir dalam syukuran, pernikahan, hingga bulan Ramadan.
Rasa yang Lahir dari Kesederhanaan
Tak ada bahan mewah dalam bingka barandam. Ia lahir dari kesederhanaan: tepung terigu, telur, gula, garam, dan sedikit vanili. Tanpa santan seperti pada bingka biasa, tekstur kue ini lembut namun tidak berminyak.
Setelah dipanggang, potongan bingka disiram dengan kuah gula habang—campuran gula merah, daun pandan, dan kayu manis yang direbus perlahan hingga mengental dan beraroma harum.
Setiap suapan menghadirkan sensasi lembut yang berpadu dengan manis hangat gula. Ada keheningan yang terasa dalam gigitan pertamanya—seolah kue ini menyimpan kisah tentang tangan-tangan ibu Banjar yang sabar menakar bahan, menunggu adonan mengembang, lalu menyiapkan kuah manis dengan penuh kasih.
Dari Martapura ke Pagatan: Satu Rasa, Banyak Nama
Ke mana pun Anda melangkah di Kalimantan Selatan, bingka barandam hampir selalu hadir, meski dalam rupa dan nama berbeda. Di Martapura, kue ini dikenal sebagai Apam Berahim; di Pagatan disebut Apam Tello, dengan warna lebih pekat karena gula merah yang melimpah.
Namun di setiap versi, satu hal tetap sama: esensi kehangatan yang dibawanya. Kudapan ini bukan sekadar makanan—ia adalah bahasa cinta yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Lebih dari Sekadar Kue
Dalam masyarakat Banjar, bingka bukan hanya simbol rasa manis, tetapi juga lambang doa dan kebersamaan. Dalam prosesi pernikahan, kue ini disuguhkan sebagai bentuk penghormatan bagi tamu. Saat bulan Ramadan tiba, bingka barandam menjadi salah satu takjil paling dicari di pasar wadai.
Ada filosofi yang tersirat di balik proses “berendam”-nya: bahwa dalam kehidupan, seperti halnya bingka yang lembut itu, manusia pun perlu menenggelamkan diri dalam kebaikan agar dapat memancarkan rasa manis bagi sesama.


