Tradisi Sabung ayam di Nusantara ternyata bukan sekadar hiburan, tetapi juga mencerminkan kehidupan sosial, budaya, dan politik masyarakat. Di Jawa, misalnya, ada kisah folklore Cindelaras yang terkenal.
Cindelaras memiliki ayam sakti dan diundang oleh Raja Jenggala, Raden Putra, untuk mengadu ayam. Syaratnya, jika ayam Cindelaras kalah, ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika menang, setengah kekayaan Raden Putra menjadi miliknya.
Kedua ayam bertarung dengan gagah berani, namun ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam Raden Putra dalam waktu singkat. Para penonton bersorak mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya.
Akhirnya, Raja mengakui kehebatan ayam Cindelaras dan menyadari bahwa Cindelaras adalah putranya sendiri yang lahir dari permaisuri yang terbuang akibat iri dengki sang selir.
Sabung ayam juga memiliki dimensi politik pada masa lampau. Salah satu contoh terkenal adalah kisah kematian Prabu Anusapati dari Singosari yang terjadi saat menyaksikan sabung ayam.
Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu Legi, ketika kerajaan Singosari sedang merayakan berbagai acara, termasuk sabung ayam. Saat itu, peraturan yang berlaku melarang siapa pun yang masuk ke arena sabung ayam membawa senjata atau keris.
Sebelum berangkat ke arena, ibu Anusapati, Ken Dedes, menasihati anaknya untuk tidak melepaskan keris pusaka yang dipakainya. Namun, Anusapati terpaksa melepaskan kerisnya atas desakan Pranajaya dan Tohjaya. Saat pertandingan berlangsung, terjadi kekacauan yang mengakibatkan Anusapati terbunuh oleh adiknya, Tohjaya, menggunakan keris pusaka Anusapati sendiri.
Jenazah Anusapati kemudian dimakamkan di Candi Penataran, dan peristiwa tersebut tetap dikenang oleh masyarakat. Anusapati adalah anak Ken Dedes dan Tunggul Ametung, sedangkan Tohjaya adalah anak Ken Arok dan Ken Umang, yang juga gemar menyabung ayam.
Dalam cerita rakyat, seperti kisah Ciung Wanara, nasib seseorang sering kali ditentukan oleh hasil sabung ayam. Anusapati bukan kalah dalam adu ayam, tetapi dalam permainan ini, ia terbunuh.
Di Bali, permainan sabung ayam dikenal sebagai Tajen. Tajen berasal dari tabuh rah, sebuah upacara dalam masyarakat Hindu di Bali yang bertujuan untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan bhuana agung. Upacara ini melibatkan pengorbanan binatang seperti ayam, babi, itik, dan kerbau.
Persembahan dilakukan dengan cara menyembelih hewan setelah diucapkan mantra. Sebelum itu, dilakukan ritual ngider dan perang sata dengan menggunakan kemiri, telur, dan kelapa. Perang sata adalah pertarungan ayam yang melambangkan perjuangan hidup, dilakukan dalam tiga babak (telung perahatan) yang melambangkan penciptaan, pemeliharaan, dan pemusnahan dunia.