Setiap bulan keempat dalam penanggalan adat Sasak, masyarakat Desa Pejanggik melaksanakan tradisi Perang Timbung yang ditandai dengan berbunganya pohon Dangah di komplek makam serewa. Perang Timbung dilakukan pada hari Jumat, baik di minggu pertama, kedua, maupun ketiga, namun dihindari pada minggu keempat.
Dalam pelaksanaannya, masing-masing kelompok, baik yang berada di areal makam serewa maupun yang berada di jalanan, saling melemparkan timbung (sejenis lemang) yang telah disiapkan sehari sebelumnya. Tujuan utamanya adalah agar setiap lemparan timbung berhasil mengenai pihak lawan.
Sebelum pelaksanaan tradisi ini, para tokoh agama, pemuka masyarakat, dan sesepuh desa mengadakan pertemuan untuk mematangkan rencana dan memastikan kesuksesan pelaksanaan tradisi ini.
Tradisi Perang Timbung yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pejanggik bukan hanya sekadar ritual budaya semata, namun juga merupakan ekspresi dari rasa bakti dan hormat kepada para leluhur.
Melalui tradisi ini, mereka mempererat tali silaturahmi antarwarga dan tidak jarang tradisi ini juga menjadi ajang pencarian jodoh bagi pemuda dan pemudi dari dalam dan luar desa Pejanggik.
Perang Timbung bagi masyarakat Pejanggik memiliki dimensi ritual yang dalam, menunjukkan perilaku religius yang kuat dalam upaya mencari hubungan baik dengan Tuhan, sesama manusia, maupun dengan alam lingkungan.
Terlihat jelas bagaimana beberapa tokoh agama melaksanakan sarakalan dan membaca al Barzanji, syair-syair pujian yang ditujukan kepada Allah SWT, di kompleks makam Serewa.
Dengan demikian, tradisi ini bukan sekadar permainan atau pertunjukan semata, namun juga sarana bagi mereka untuk mengekspresikan keyakinan dan penghormatan kepada agama dan leluhur mereka.
Selain fungsi-fungsi yang telah disebutkan sebelumnya, tradisi Perang Timbung juga memuat fungsi musyawarah dan silaturahmi yang sangat penting. Tradisi ini tidak hanya melibatkan masyarakat Desa Pejanggik saja, tetapi juga warga dari desa-desa sekitarnya.
View this post on Instagram
Dalam pelaksanaannya, seluruh warga masyarakat desa terlibat aktif. Ini memberikan kesempatan bagi mereka untuk berinteraksi, berbincang-bincang, dan saling mengenal lebih dalam antara satu sama lain.
Pertemuan dalam acara Perang Timbung dapat membawa dampak positif, bahkan menciptakan rasa simpati terhadap seseorang, terutama di antara lawan jenis. Pertemuan di acara ini seringkali menjadi awal dari hubungan yang lebih dekat, bahkan berkembang menjadi hubungan pernikahan.
Tradisi Perang Timbung juga sarat dengan nilai-nilai yang penting dalam kehidupan masyarakat, seperti nilai syukur yang merupakan ungkapan terima kasih kepada Sang Pencipta, terutama atas keberhasilan dalam panen atau hasil yang telah dicapai.
Nilai religius juga sangat kental dalam tradisi ini, menunjukkan ketaatan dan kepatuhan masyarakat dalam memahami serta melaksanakan ajaran agama yang dianut.
Selain itu, tradisi ini juga mencerminkan semangat solidaritas dan kebersamaan antarindividu, yang tercermin dalam kerjasama dan gotong royong dalam persiapan serta pelaksanaan Perang Timbung. Dengan demikian, tradisi Perang Timbung tidak hanya merupakan perayaan budaya semata, tetapi juga membawa makna dan nilai yang dalam bagi masyarakatnya.