Tradisi Cium Hidung, Keunikan Pulau Sabu Raijua Bentuk Persaudaraan yang Tulus

Henge’do cium hidung adalah tradisi yang bisa dilakukan kapan saja, dimana saja, dengan siapa saja tidak memandang status, strata sosial, usia dan sebagainya.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Semua punya alasan berbeda untuk berkunjung ke daerah manapun untuk menikmati liburan. Jika daerah yang ingin kita kunjungi adalah Nusa Tenggara Timur, maka banyak hal yang perlu dipertimbangkan, ada seribu satu macam destinasi dan pertunjukan yang tidak boleh kita lewati.  Tradisi Cium Hidung.

Sebut saja pulau Sabu Raijua, dimana kebiasaan masyarakat daerah ini membuat nyali kita ciut. Biasanya di tempat kita tinggal, jika bertemu teman, keluarga bahkan teman baru, dengan sendirinya mencium pipi, memeluk, atau berjabat tangan. Namun tidak untuk di pulau ini.

Masyarakat Sabu Raijua memiliki tradisi berbeda dalam menyambut tamu atau bertemu dengan seseorang. Henge’do cium hidung adalah tradisi yang bisa dilakukan kapan saja, dimana saja, dengan siapa saja tidak memandang status, strata sosial, usia dan sebagainya.

- Advertisement -

Bagi yang pertama kali merasakan momen ini, sudah pasti terasa aneh, lucu, canggung dan berbagai rasa tercampur aduk. Masyarakat Sabu Raijua sudah menganggap hal ini, biasa. Menurut mereka tradisi sebagai bentuk persaudaraan, sekaligus tanda penghormatan dari yang muda kepada yang tua dan tanda kejujuran.

Dilansir dari ANTARA, dalam penelitian yang dilakukan oleh profesor budaya asal Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, ada 22 ciuman yang dilakukan oleh masyarakat Sabu Raijua.

“Makna 22 ciuman itu merupakan budaya masyarakat Sabu Raijua, namun masing-masing ciuman memiliki makna sendiri-sendiri,” jelas Guru Besar Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Prof Dr Felysianus Sanga MPd.

- Advertisement -

Hidung sendiri merupakan alat pernapasan yang memiliki makna kehidupan. Dengan filosofi tersebut, masyarakat Sabu Raijua memaknai Henge’do sebagai unsur yang bisa menghidupkan rasa kekeluargaan antara satu dengan yang lainnya, walau baru pertama kali bertemu.

Baca Juga :  Rumah adat Langkanae Luwu dan Filosofinya

Lambat laun, tradisi ini kemudian menular dan berkembang hampir ke seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu bentuk persaudaraan yang tulus. (*)

- Advertisement -