Di antara lembah karst dan rimba yang tak lekang usia, tersimpan kisah tua yang masih berbisik dari celah bebatuan Kampung Abbo, Kelurahan Leang-Leang. Sebuah legenda yang dituturkan dari generasi ke generasi, tentang seorang pemimpin yang lebih dari sekadar makhluk rimba: Toakala, raja dari sebuah kerajaan kera yang pernah berjaya di pelataran Sulawesi Selatan.
Cerita tentang Toakala datang dalam dua wajah. Yang satu menuturkan cinta yang ditolak—Toakala, sang raja kera, jatuh hati pada I Bissu Daeng, putri dari Raja Pattiro. Namun restu tak diberikan. Dalam amarah dan dendam, kutukan pun dijatuhkan; tubuh Toakala membatu, abadi menjadi saksi dari cinta yang tak kesampaian.
Versi lain menyimpan luka yang lebih dalam. Ketika restu akhirnya diberikan, rombongan Toakala berangkat menuju istana Pattiro. Namun yang menanti bukanlah perjamuan, melainkan pengkhianatan. Api menyala di ruangan besar, membakar asa dan tubuh para pengiring. Toakala selamat, tapi hatinya remuk. Ia menghilang ke dalam hutan, menyatu dalam sunyi gua yang masih dipercaya menyimpan jejak jiwanya.
Bagi masyarakat sekitar, legenda ini bukan sekadar dongeng. Ia terhubung erat dengan makhluk yang nyata: kera dare, si primata hitam tak berekor, spesies endemik Sulawesi Selatan yang dalam bahasa ilmiah disebut Macaca maura. Mereka hidup dalam kelompok, dengan seorang pemimpin yang dipilih bukan karena garis darah, tetapi karena kekuatan—sebuah peradaban kecil yang mencerminkan manusia dalam bentuk lain.
Kera dare dikenal cerdas. Otaknya besar, nalurinya tajam. Ia bisa berdiri tegak seperti manusia, dan membedakan warna dengan tajamnya penglihatan. Yang tua bisa dikenali dari rambut putih di tubuhnya—seperti manusia yang menua dengan uban. Dalam hutan Karaenta, mereka tidak hanya bergerak, mereka juga menjaga warisan.
Di balik wajah lucunya, ada peringatan tentang kehancuran ekosistem yang perlahan mengintai. Ketika kera-kera ini mulai muncul di tepi jalan Makassar-Kendari, menengadahkan tangan pada penumpang kendaraan, itu bukan sekadar pemandangan eksotis. Itu adalah jeritan diam tentang habitat yang tergerus, tentang manusia yang tanpa sadar telah merobek siklus alam.
Pihak Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sudah mengingatkan: jangan beri makan. Bukan karena kikir, melainkan agar mereka tak kehilangan naluri rimba—agar kerajaan Toakala tetap hidup, bukan menjadi taman hiburan yang kehilangan jiwa.
Cagar Alam Karaenta adalah benteng terakhir. Di sini, kera dare masih bisa menari di antara dahan dan membisikkan lagu leluhur. Patung kera setinggi 25 meter berdiri megah, seolah menatap masa depan dan masa lalu sekaligus—menyapa mereka yang datang untuk belajar dari hutan, bukan menguasainya.
Jika kau beruntung, jagawana—penjaga rimba yang dikenal dengan kelembutan hatinya—akan membawamu menyusuri lorong-lorong dedaunan. Ia akan mengajarkan bagaimana menyapa kera dare, bukan dengan makanan, tapi dengan penghormatan.
Dan bila malam turun di Karaenta, dan angin mulai bernyanyi, mungkin kau akan mendengar suara yang berbeda. Bukan suara burung atau ranting yang patah. Tapi gema dari legenda yang belum mati—Toakala, sang raja yang tak pernah benar-benar pergi, yang kini hidup dalam setiap tatapan kera dare yang memandangmu dari balik semak.
Karena di Sulawesi, bahkan seekor kera bisa membawa jiwa raja, dan sebatang pohon bisa menyimpan cinta yang belum selesai.