Tarian Sumba, Garang Gemulai dalam Pekik Kemeriahan

Meskipun dunia berubah, denyut budaya ini tetap bertahan. Di berbagai upacara adat dan sanggar seni yang tersebar di seluruh Sumba, anak-anak muda terus belajar mengayunkan tangan dan mengukir cerita lewat tubuh mereka.

Nagekeo yang Tak Banyak Orang Tahu, Temukan di Edisi Spesial Ini!

Temukan kekayaan budaya, adat istiadat, sejarah, wisata, dan kuliner khas Nagekeo melalui Majalah Digital Dimensi Indonesia. Dikemas secara menarik dengan pendekatan ilmiah yang ringan.
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Mengurai Pesan Leluhur Lewat Gerak: Cerita di Balik Tari- tarian Sumba

Di Sumba, setiap langkah kaki penari adalah jejak yang membawa cerita masa lampau. Di pulau yang membentang di timur Indonesia ini, tari bukan sekadar hiburan; ia adalah bahasa, doa, dan ingatan kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Seperti di banyak wilayah Nusantara lainnya, tarian di Sumba tumbuh sebagai bagian dari identitas suku. Ia merekam pandangan hidup masyarakat, menjadi jembatan komunikasi antar sesama, dengan alam, hingga kepada Sang Pencipta. Dari ragam tarian itu, Tari Kataga menjadi salah satu yang paling kuat menggambarkan sejarah perjuangan orang Sumba.

- Advertisement -

Tari Kataga berakar dari tradisi lama — masa ketika keberanian seorang prajurit diukur dari kepalanya yang dibawa pulang setelah pertempuran. Kata “kataga” berasal dari katagahu, yang berarti memenggal kepala musuh. Pada masa itu, kepala lawan dijadikan lambang kekuatan, digantung di pohon-pohon adung di halaman rumah. Di sinilah, kisah peperangan itu tidak sekadar berakhir di medan laga, tapi juga berlanjut di ranah budaya.

Tarian Sumba
Tarian Sumba

Namun bahkan perang pun memiliki akhirnya. Kepala-kepala yang bergelantungan itu kelak bisa dipulangkan kepada keluarganya melalui prosesi damai. Sebagai bagian dari proses itu, para prajurit memperagakan kembali teknik bertarung mereka — tradisi ini kemudian bertransformasi menjadi Tari Kataga.

Dalam setiap pementasannya, Tari Kataga memanggil kembali semangat masa lalu. Para penari membentuk barisan, mengayunkan katopu (parang), melompat, dan memukul toda (perisai), diiringi derap langkah, gemerincing lonceng di kaki, dan pekik bersahutan. Kain adat dan hiasan kepala rowa atau kapauta menjadi bagian tak terpisahkan dari tampilan mereka, mempertegas identitas budaya yang dijaga hingga kini.

- Advertisement -
Baca Juga :  Hikayat Keris Aeng Tong-tong, Kesaktian Warisan Leluhur

Di bagian lain Sumba, di wilayah Sumba Barat Daya, kisah lain menari lewat Tari Woleka. Jika Kataga bernapas lewat keberanian, Woleka bergetar dalam nuansa syukur dan harmoni. Dulunya, Tari Woleka merupakan bagian dari upacara penghormatan kepada leluhur, sebagai bentuk permohonan ampun atas kesalahan manusia.

Tarian Sumba
Tarian Sumba

Kini, dalam pementasannya, para pria menari lincah sambil mengayunkan parang, sedangkan para wanita bergerak anggun, memainkan selendang yang berayun seirama tubuh. Dua energi — kekuatan dan kelembutan — berpadu, menciptakan harmoni yang mencerminkan filosofi hidup masyarakat Sumba.

Melangkah ke Sumba Timur, tarian-tarian syukur pun menemukan panggungnya. Salah satunya adalah Tari Kabokang, tarian yang awalnya dipersembahkan untuk mensyukuri kelahiran bayi. Kini, tarian ini berkembang menjadi bagian dari penyambutan tamu, menampilkan barisan wanita berlenggak sambil berputar membentuk formasi, dengan balutan kain tenun berwarna cerah yang menjadi kebanggaan Sumba Timur.

- Advertisement -

Tidak berhenti di situ. Setiap musim panen tiba, masyarakat Sumba pun menggelar Tari Kandingang dan Patanjangung. Di tangan para penari, rumbai-rumbai dari ekor kuda berputar di udara, mengikuti ritme langkah kaki yang menghentak tanah — mengungkapkan kegembiraan atas hasil bumi yang melimpah.

Ada pula tarian-tarian lain seperti Ningguharama untuk menyambut para pahlawan yang pulang dari pertempuran, Warung Kelumbut yang mengikuti gerak binatang, hingga Panapang Banu yang menjadi bagian dari upacara lamaran.

Meskipun dunia berubah, denyut budaya ini tetap bertahan. Di berbagai upacara adat dan sanggar seni yang tersebar di seluruh Sumba, anak-anak muda terus belajar mengayunkan tangan dan mengukir cerita lewat tubuh mereka. Dalam tiap hentakan, tiap putaran, mereka menjaga satu hal yang lebih dari sekadar tradisi — mereka menjaga roh Sumba tetap hidup di antara kita.

Baca Juga :  Ma’parampo, Tradisi Lamaran Suku Toraja yang Rahasia