Tanpa adanya ritual, tradisi, atau kebudayaan, keharmonisan dan integrasi sosial masyarakat tidak akan terwujud. Durkheim juga membagi solidaritas sosial menjadi dua jenis, yaitu solidaritas organik dan solidaritas mekanik.
Tarian Kabalai di dalam Ritual Kematian
Tarian Kebalai dari masyarakat Rote, Nusa Tenggara Timur, memiliki nilai budaya yang sangat kaya dan mendalam. Pada awalnya, Kebalai dikenal sebagai sebuah tarian sakral yang berkaitan erat dengan pohon lontar, yang disebut sebagai “pohon kehidupan” bagi masyarakat Rote.
Tarian ini dilaksanakan dalam upacara syukur yang menandai awal dan akhir musim sadap lontar, dimana masyarakat mengingat dan menghargai pentingnya pohon lontar dalam kehidupan mereka. Lontar bukan hanya sekadar pohon, tetapi simbol keberlangsungan hidup, karena hasil sadapannya, seperti nira, menjadi sumber penghidupan utama, terutama bagi mereka yang rentan seperti janda dan anak yatim.
Seiring perkembangan waktu, Kebalai mengalami transformasi makna dan fungsi. Dari yang awalnya merupakan ritual agraris yang memuja pohon lontar, Kebalai kini sering dipentaskan dalam upacara kematian.
Transformasi ini memperlihatkan betapa fleksibel dan dinamisnya tradisi ini dalam mengikuti kebutuhan sosial-budaya masyarakat. Dalam konteks kematian, Kebalai memiliki tiga tujuan utama: pertama, memperkuat solidaritas dan kebersamaan dalam masyarakat; kedua, memberikan motivasi serta penghiburan kepada keluarga yang berduka; dan ketiga, mengenang serta menghormati perjalanan hidup almarhum.
Ritual ini dipimpin oleh seorang manahelo, seorang pemimpin yang menguasai syair-syair adat. Syair yang dinyanyikan oleh manahelo tidak hanya berfungsi sebagai ungkapan duka, tetapi juga membawa pesan penghiburan yang mendalam bagi keluarga yang kehilangan.
Keunikan dari syair yang dinyanyikan adalah bahwa isinya selalu disesuaikan dengan kondisi dan status sosial almarhum, baik itu bangsawan, rakyat biasa, janda, anak yatim piatu, atau mereka yang berkebutuhan khusus. Syair tersebut mengandung makna yang erat dengan kehidupan almarhum, sehingga keluarga yang berduka merasa tersentuh dan terhibur secara emosional.
Secara keseluruhan, Kebalai dalam konteks ini menunjukkan bagaimana kebudayaan Rote mampu memadukan aspek ritual dengan nilai-nilai sosial yang lebih luas, serta bagaimana tradisi ini tetap relevan dalam kehidupan modern masyarakatnya.
Tata Busana Dalam Tarian Kebalai Kematian
Dalam tarian kebalai yang ditampilkan pada acara kematian, tata busana yang dikenakan terdiri dari pakaian yang bebas namun rapi, serta pakaian adat. Untuk pria, biasanya mengenakan selimut selampang atau selimut lafa dan abas.
Tidak ketinggalan, pria juga memakai topi khas Rote Ndao yang disebut Ti’i langga. Sementara itu, perempuan umumnya mengenakan kain sarung, selampang, dan habas.
Proses Pelaksanaan Tarian Kebalai Kematian
Dalam pelaksanaan tarian kebalai dari dulu hingga sekarang, tidak ada perbedaan signifikan dalam tradisinya. Tarian kebalai kematian dilakukan dengan membentuk lingkaran, yang terdiri dari sepuluh hingga lima puluh orang atau lebih. Jika peserta terlalu banyak dan memenuhi arena, mereka akan dibagi menjadi dua lingkaran, satu di dalam lingkaran lainnya.
Gerakan dalam tarian kebalai sangat sederhana. Setelah lingkaran terbentuk, para peserta bergandengan tangan. Gerakan dimulai dengan kaki, kemudian diikuti oleh gerakan tangan yang selaras. Kaki kanan diayunkan dua kali—ke depan lalu ke belakang—diikuti oleh kaki kiri dengan gerakan yang sama.