Sebelum VOC menancapkan pengaruhnya di Nusantara pada abad ke-17, masyarakat Sangihe telah memiliki sebuah tradisi menarik yang kemudian diabadikan dalam bentuk seni tari. Tradisi ini merujuk pada kebiasaan mereka untuk memproduksi minyak kelapa secara berkelompok, yang kemudian diwujudkan dalam gerakan indah Tari Kalumpang.
Aktivitas membuat minyak kelapa ini bukan sekadar kegiatan ekonomi bagi masyarakat Sangihe, melainkan juga momen penting untuk mempererat kebersamaan. Biasanya, masyarakat akan membentuk kelompok dan berkumpul di rumah salah satu anggota untuk memulai proses pengolahan kelapa. Bahan baku kelapa sudah disiapkan sebelumnya di rumah masing-masing, dan proses ini dilakukan secara bergantian di rumah anggota yang lain.
Diiringi nyanyian lagu daerah, proses mencukur kelapa dilakukan dengan penuh semangat. Lagu-lagu tersebut tidak hanya menemani proses kerja, tetapi juga sarat dengan makna-makna persatuan dan permohonan berkat kepada Tuhan.
Salah satu syairnya berbunyi: “Puļung kakiraéng béngko, Tangkai cukuran kelapa yang bengkok Me’be’bawa pe’daramé, Membawa perdamaian, Gi ghile ne’ sembahu, Bersama-sama bersatu, Kumanoa’ sengkakanoa, Bekerja bahu-membahu, Mededorong aļamate’ Sumawu Ruata, Memohon berkat pada Tuhan Yang Kuasa.”
Tari Kalumpang juga dikenal dengan penggunaan alat tradisional bernama Kakiraé, yang merupakan alat untuk mencukur kelapa. Alat ini menjadi simbol dari aktivitas kolektif pengolahan kelapa, sekaligus menjadi elemen penting dalam tariannya. Melalui tari ini, nilai kebersamaan dan kerja sama tidak hanya ditonjolkan, tetapi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Keunikan Tari Kalumpang terletak pada kemampuannya untuk menjembatani aktivitas keseharian dengan ekspresi seni. Tari ini tidak hanya mencerminkan kekayaan budaya lokal, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dalam komunitas Sangihe. Dalam setiap gerakan dan nyanyian, tersimpan nilai-nilai luhur yang diharapkan dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.