Di ujung tenggara Pulau Jawa, tersimpan sebuah kawasan rimba yang dipenuhi bisikan legenda dan jejak sejarah masa silam. Namanya: Taman Nasional Alas Purwo. Dikenal sebagai hutan tertua di Pulau Jawa, tempat ini tak hanya kaya akan biodiversitas, tapi juga diselimuti aura mistik yang kental. Tak sedikit masyarakat sekitar yang percaya bahwa hutan ini adalah tempat keramat, bahkan dianggap sebagai pusat kekuatan spiritual tanah Jawa.
Setiap tanggal 1 Suro, masyarakat—baik yang beragama Islam maupun Hindu—masih rutin datang ke tengah belantara Alas Purwo untuk bersemedi, bertapa, dan menenangkan batin. Konon, di sinilah rakyat Majapahit pernah bersembunyi dari gelombang Islamisasi yang menyapu Pulau Jawa kala itu.
Sisa-sisa masa lampau masih bisa dilihat hari ini lewat berbagai situs dan gua-gua yang tersebar di dalam kawasan taman, seperti Situs Kawitan, Gua Istana, Gua Mayangkoro, Gua Padepokan, Gua Persembunyian, hingga meriam peninggalan Jepang. Salah satu yang paling menarik adalah Pura Giri Salaka, peninggalan abad ke-14 dari era Majapahit yang ditemukan tanpa sengaja pada tahun 1967.

Legenda pun turut mewarnai setiap jengkal tanah Alas Purwo. Salah satu yang paling dikenal adalah tentang gapura-gaib—gerbang tak kasatmata yang hanya bisa dilihat setelah melakukan brata, sebuah ritual hening selama tiga hari tanpa makan, minum, dan tanpa membenci siapa pun. Setelah itu, dipercaya gapura gaib lengkap dengan barisan prajurit penjaganya akan memperlihatkan dirinya, seolah membuka dimensi lain yang hanya bisa diakses lewat ketenangan jiwa.
Namun daya tarik Alas Purwo bukan hanya soal mistik dan spiritual. Taman nasional yang diresmikan pada 1993 ini juga menawarkan pesona alam yang tak tertandingi. Tanah liat berpasir yang mendominasi kawasan ini menjadi landasan bagi rimbunan pohon mahoni, serta hamparan padang rumput luas yang dikenal dengan nama Sadengan.
Padang ini berfungsi sebagai tempat penggembalaan dan monitoring banteng jawa yang populasinya kian terancam. Dari area inilah petugas taman bisa mencatat jumlah dan perilaku satwa yang hidup di dalamnya. Di pagi hari, jika beruntung, pengunjung bahkan bisa menyaksikan kawanan merak yang melenggang keluar dari balik pepohonan.
Dengan luas mencapai 43.420 hektar dan ketinggian 322 meter di atas permukaan laut, TN Alas Purwo adalah rumah bagi 50 jenis mamalia, 700 jenis tumbuhan, 320 jenis burung, 48 jenis reptil, dan 15 jenis amfibi. Satwa-satwa seperti ajag, macan tutul, kijang, lutung, rusa, dan babi hutan menjelajah leluasa di antara hutan-hutan bambu, mangrove, hingga kawasan pantai.
Sementara itu, kawasan pesisirnya juga menyimpan keindahan bahari yang memikat. Nama-nama seperti Plengkung atau G-Land, Cungur, Marengan, Triangulasi, Pancur, Pasir Putih, Sembulungan, Perpat hingga Teluk Banyubiru menjadi surga tersendiri bagi para peselancar dan pencinta pantai.
Letaknya yang berada di Kecamatan Tegaldlimo dan Purwoharjo, Banyuwangi, bisa dicapai dengan kendaraan pribadi atau sewa dari arah Rogojampi menuju Srono, Muncar, hingga akhirnya tiba di Pos Rowobendo. Tiket masuknya pun cukup terjangkau—hanya Rp15.000 per orang. Meskipun infrastrukturnya terus diperbaiki, tak ada kendaraan umum yang melintasi kawasan ini, membuatnya tetap terasa seperti hutan purba yang belum tersentuh sepenuhnya.
Kini, selain menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati dan situs sejarah penting, TN Alas Purwo juga telah diakui dunia. Penetapannya sebagai Cagar Biosfer Dunia oleh UNESCO dan Geopark Nasional oleh pemerintah Indonesia menandai posisinya sebagai kawasan konservasi sekaligus destinasi wisata spiritual, religi, bahari, dan sejarah yang semakin diminati.
Namun satu hal yang selalu diingatkan kepada siapa pun yang datang: hutan ini bukan sekadar tempat wisata. Taman Nasional Alas Purwo adalah ruang hidup yang disucikan oleh banyak orang. Maka, hormatilah heningnya, jangan ganggu sakralnya, dan masuklah dengan niat yang bersih serta hati yang rendah.