Namun, takdir memiliki rencana lain. Sepulang dari Batavia, pada tanggal 22 Oktober 1939, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII wafat di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Kepergiannya membawa duka mendalam bagi keraton dan rakyatnya. Beliau dimakamkan dengan penuh kehormatan di Astana Saptarengga, Pajimatan Imogiri, meninggalkan warisan yang tak hanya berupa bangunan atau kebijakan, tetapi juga semangat perubahan yang terus bergema hingga kini.
Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
Di bawah kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, Yogyakarta mengalami transformasi besar yang meliputi berbagai bidang, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga seni dan arsitektur.
Wujud fisik keraton seperti yang terlihat saat ini adalah hasil dari visi arsitektural beliau. Setiap detail perombakan mencerminkan kepedulian terhadap estetika sekaligus fungsionalitas, mempertegas status keraton sebagai pusat kebudayaan dan pemerintahan.
Dalam dunia seni tari, masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menjadi era inovasi yang tak terlupakan. Banyak karya tari megah yang diciptakan, seperti Beksan Srimpi Layu-layu, Beksan Gathutkaca-Suteja, Bedaya Gandrung Manis, dan Bedaya Kuwung-Kuwung. Tidak hanya melahirkan tarian baru, era ini juga menjadi titik awal pembakuan pakem tari klasik Gaya Yogyakarta, yang hingga kini menjadi rujukan utama seni tari di wilayah ini.
Selain seni tari, panggung seni wayang wong mencapai puncak keemasannya. Pertunjukan besar-besaran yang berlangsung hingga tiga hari menjadi hal yang biasa diadakan pada era ini. Lebih dari 20 lakon wayang wong dikembangkan, menggambarkan kecintaan dan dukungan Sri Sultan terhadap seni tradisional yang menjadi identitas budaya Jawa.
Inovasi beliau juga tercermin dalam busana Tari Bedaya. Perubahan besar dilakukan, menghilangkan kampuh dan paes ageng, yang sebelumnya menjadi ciri khas. Sebagai gantinya, penari mengenakan jamang dengan hiasan bulu-bulu, baju tanpa lengan, serta kain seredan. Gaya baru ini memberikan kesan lebih dinamis dan elegan, mencerminkan adaptasi tradisi terhadap zaman tanpa kehilangan esensi keanggunannya.
Melalui kepemimpinannya, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga merevitalisasi dan memperkaya kebudayaan Yogyakarta, meninggalkan warisan abadi yang terus dikenang dan dihormati hingga kini.