Sri Sultan Hamengku Buwono III: Takhta di Tengah Badai

Di bawah pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III, meskipun hanya berlangsung dalam hitungan hari, rakyat Yogyakarta sempat merasakan nuansa stabilitas dan kemakmuran.

Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Matahari pagi yang hangat menyinari Yogyakarta, namun di balik dinding keraton, kisah seorang pemuda dengan nama kecil Raden Mas (RM) Surojo perlahan membentuk alur sejarah. Lahir pada 20 Februari 1769, ia adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono II dan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kedhaton. Sifat pendiam dan kecenderungannya untuk mengalah membuatnya sering berada di balik bayang-bayang ayahnya, sebagaimana digambarkan dalam biografi Tan Jin Sing.

Namun, nasib tidak memberikan ruang bagi Surojo untuk tetap berada di balik layar. Pada Desember 1810, saat usianya 41 tahun, prahara datang ke Keraton Yogyakarta. Manuver pasukan Belanda, dipimpin Letnan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, mengguncang takhta sang ayah. Akibat perseteruan sengit ini, Sultan Hamengku Buwono II dilengserkan dari jabatannya oleh kolonial Belanda.

Dalam kekosongan kuasa itu, RM. Surojo diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono III, namun dengan status sebagai regent atau wakil raja. Sementara itu, Sultan Hamengku Buwono II, meski dilengserkan, masih diizinkan tinggal di keraton dengan gelar Sultan Sepuh, seperti bayangan kekuasaan yang masih membayangi langkah penggantinya.

- Advertisement -

Gejolak belum berakhir. Pada 28 Desember 1811, tentara Inggris datang menggulung kekuatan Belanda dan mengambil alih tanah Jawa. Dengan kehadiran penguasa baru, RM. Surojo kembali kehilangan takhtanya. Sang ayah, Sultan Hamengku Buwono II, kembali naik sebagai penguasa penuh.

Namun, dalam peralihan kuasa yang pelik itu, muncul sosok mediator, Pangeran Notokusomo, saudara Sultan Hamengku Buwono II. Dengan kecakapan diplomasi dan pemahaman budaya Jawa yang mendalam, ia menjadi penengah antara Inggris dan keraton. Keunggulannya ini bahkan membuatnya menjadi sahabat dekat Letnan Gubernur Jenderal Inggris, hingga akhirnya dianugerahi gelar KGPAA Paku Alam I sebagai pangeran merdika.

Baca Juga :  Sri Sultan Hamengku Buwono VII: Pemimpin Visioner di Tengah Tekanan Kolonial

Takhta Sultan Hamengku Buwono II kembali goyah pada Juni 1812, saat Thomas Stamford Raffles mencabut dukungannya akibat sikap keras kepala sang Sultan. RM. Surojo diangkat kembali menjadi Sultan Hamengku Buwono III. Namun, masa pemerintahannya tak hanya diwarnai politik istana.

- Advertisement -

Putra sulungnya, RM. Antawirya, memilih jalur berbeda. Dikenal dengan gelar Pangeran Diponegoro, ia menjauh dari politik keraton dan mendalami ilmu agama di Tegalrejo. Mirip dengan sifat kakeknya, Pangeran Diponegoro juga memiliki keberanian dan keteguhan hati yang membuatnya kelak memimpin perlawanan besar terhadap Belanda dalam Perang Jawa, salah satu konflik paling menguras tenaga dan sumber daya kolonial.

Kisah RM. Surojo adalah potret perjuangan di tengah perubahan besar, di mana kekuasaan, diplomasi, dan perlawanan membentuk wajah baru Yogyakarta. Nama-nama seperti Pangeran Diponegoro dan Pangeran Notokusumo menunjukkan bahwa meski diliputi bayang-bayang kolonial, semangat perlawanan dan diplomasi Jawa tetap abadi.

Kedatangan Inggris di tanah Jawa mengguncang tatanan geopolitik Kasultanan Yogyakarta. Batas-batas wilayah yang sebelumnya kokoh kini tercerai-berai. Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang, dan Grobogan dipaksa beralih tangan kepada Inggris, dengan kompensasi tahunan sebesar 100.000 real. Tak hanya itu, 4.000 cacah tanah Adikarto (Kulonprogo) diserahkan kepada Pangeran Notokusumo, yang diangkat sebagai pangeran merdika dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam I (1813–1829).

- Advertisement -

Dalam permainan kekuasaan ini, Kapiten Cina Tan Jin Sing juga menjadi bagian penting. Sebagai penghargaan atas bantuannya selama RM. Surojo masih menjadi putra mahkota, Tan Jin Sing diberi 1.000 cacah tanah tambahan. Ketika RM. Surojo diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono III, ia menunjuk Tan Jin Sing sebagai Bupati Yogyakarta dengan gelar KRT Secadiningrat, sebuah langkah yang memperkuat pengaruh etnis Tionghoa di Jawa.

Baca Juga :  Palipuran, Desa Paling Bersih Sedunia yang Menawarkan Kedamaian

Namun, perubahan terbesar datang dari kebijakan militer. Inggris memberlakukan larangan tegas bagi raja-raja Jawa untuk memiliki pasukan militer yang mandiri. Pasukan Inggris dan Sepoy menjadi satu-satunya resimen resmi yang diperbolehkan menjaga istana. Kebijakan ini memaksa lebih dari 9.000 prajurit keraton, termasuk yang berasal dari Bugis dan Bali, kehilangan pekerjaan mereka. Banyak yang akhirnya dimobilisasi untuk bekerja di perkebunan-perkebunan milik kolonial, tersebar di luar Jawa.

Di tengah pergolakan ini, usia pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III terhitung singkat. Pada tanggal 3 November 1814 (19 Dulkangidah 1741), beliau wafat di usia 45 tahun. Perjalanannya sebagai pemimpin hanya berlangsung selama 865 hari. Ia dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan, Imogiri, menyisakan warisan yang penuh tantangan bagi penerusnya.

- Advertisement -