Sigajang Laleng Lipa | Dalam budaya Indonesia, terdapat sedikitnya 1.340 suku yang masing-masing memiliki budaya, tradisi, dan kesenian yang berbeda. Budaya dan tradisi ini sudah melekat dalam kehidupan masyarakat dan mencerminkan tingkah laku serta peradaban mereka di berbagai aspek.
Dalam budaya Bugis-Makassar, ada konsep siri, yang berarti harga diri, yang sangat dijunjung tinggi. Bagi masyarakat Bugis-Makassar, hanya mereka yang memiliki siri yang dianggap sebagai manusia sejati. Seperti pepatah yang menyatakan, “Barang siapa yang tidak memiliki siri, maka dia bukanlah siapa-siapa, melainkan hanya seekor binatang.”
Nilai harga diri ini sangatlah penting bagi masyarakat Sulawesi Selatan, yang tercermin dalam ungkapan Apaainengi Siri nasabah Siri parenra nyawa palau, yang berarti “Jika harga diri telah terkoyak, maka nyawa adalah bayarannya.”
Budaya merupakan hasil cipta dan karya manusia yang diwariskan dari generasi ke generasi, umumnya selama minimal 25 tahun, hingga menjadi tradisi. Tradisi ini akan terus bertahan selama masih dibutuhkan dan relevan dengan masyarakatnya.
Ada juga budaya universal, seperti nilai kejujuran, yang berlaku di mana saja, meskipun ada relativitas dalam kebudayaan. Nilai yang dianggap baik di suatu tempat belum tentu dianggap baik di tempat lain.
Dalam masyarakat Bugis-Makassar, dikenal dua konsep budaya: malbi (rasa malu) dan tobarani (keberanian). Konsep malbi dan tobarani ini banyak dibicarakan dalam kalangan elite dan diwariskan secara turun-temurun.
Sementara itu, dalam masyarakat petani, konsep siri juga ada namun menyangkut nilai-nilai dasar yang lebih hakiki. Bila terjadi pelanggaran terhadap siri, masyarakat dapat terlibat dalam tindakan kekerasan, bahkan mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan prinsip yang mereka yakini benar.
Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, siri adalah nilai paling peka dalam kehidupan mereka. Siri bukan sekadar harga diri, melainkan meliputi martabat, nama baik, reputasi, serta kehormatan diri dan keluarga, yang semuanya harus dijaga dan dijunjung tinggi dalam kehidupan sosial.
Apabila segala upaya musyawarah telah ditempuh namun tidak menemukan jalan keluar, jalan terakhir yang diambil adalah duel atau Sigajang laleng lipa’ sebagai bentuk pengadilan untuk mengukur keberanian dan kelaki-lakian. Praktik ini bukan sekadar mencari siapa yang benar atau salah, tetapi merupakan pengadilan kehormatan.
Meski begitu, sejarah tertulis mengenai Sigajang laleng lipa’ masih sulit ditemukan. Konon, cerita ini hidup dalam tradisi lisan. Salah satu kisah yang terkenal berasal dari Takalar pada abad ke-18, tentang dua murid yang saling jatuh cinta kepada anak sang guru.
Keduanya datang melamar bersamaan tanpa mengetahui perasaan satu sama lain. Mendapati bahwa mereka bersaing untuk hati yang sama, mereka akhirnya sepakat bertarung dalam sarung sesuai dengan amanat sang guru, yang melarang mereka memamerkan apa pun yang telah diajarkan. Peristiwa ini berakhir tragis dengan kematian kedua murid tersebut.
Kisah ini mengajarkan tentang keberanian untuk menghadapi risiko demi mempertahankan kebenaran dan kehormatan. Nilai ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga siri dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan, di mana harga diri dan martabat menjadi landasan sosial yang dijunjung tinggi.
Risiko terkecil dalam Sigajang laleng lipa’ mungkin hanya luka, tetapi sering kali berakhir dengan kematian, bahkan terkadang menewaskan kedua belah pihak. Karena perkelahian ini terjadi dalam sarung, pergerakan sangat terbatas, sehingga sulit bagi mereka untuk menghindar dari senjata lawan. Pada awalnya mungkin tidak ada yang terluka, tetapi semakin lama, sering kali keduanya terkena tusukan.
Pertarungan ini adalah kesepakatan antara dua orang, bukan persetujuan kolektif masyarakat. Hal ini dilakukan melalui perjanjian pribadi, bukan secara formal. Karena itu, perlunya penelitian yang mendalam sebelum memperkenalkan praktik ini sebagai bagian dari budaya masyarakat secara keseluruhan. Para ahli dan pemangku adat perlu mengkaji budaya ini agar tidak timbul salah persepsi di tengah masyarakat.
Sigajang laleng lipa’ sering dibandingkan dengan pertarungan gladiator di Roma Kuno, di mana para ahli pedang bertarung di arena untuk mempertaruhkan nyawa dan kehormatan. Di Romawi, gladiator bertarung di Colosseum, yang dapat menampung puluhan ribu penonton, dan menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial dan politik.
Gladiatorisme sendiri perlahan-lahan punah pada abad ke-5 Masehi. Menariknya, di Bantaeng, ditemukan situs bernama Pasaungan Tua, yang diyakini sebagai tempat serupa bagi masyarakat lokal untuk bertarung.
Setelah kemerdekaan Indonesia, aturan pun diterapkan yang melarang penggunaan senjata tajam seperti keris dalam perkelahian, yang sebelumnya sering menjadi simbol kekuatan atau ilmu kekebalan.
Dalam Sigajang laleng lipa’, gerakan bela diri mungkin tidak terlihat karena yang ditonjolkan adalah kekebalan diri, bukan teknik. Dengan demikian, Sigajang laleng lipa’ lebih menunjukkan ketahanan fisik atau kemampuan bertahan daripada teknik bertarung yang nyata.
Orang-orang tubarani—yang dikenal memiliki keahlian silat yang tinggi—tidak menunjukkan keterampilan bertarung mereka dalam Sigajang laleng lipa’. Yang lebih ditonjolkan adalah ilmu kekebalan mereka.
Tidak ada gerakan silat atau jurus yang ditampilkan karena inti dari Sigajang laleng lipa’ adalah ketahanan, bukan teknik. Jika logikanya kedua orang berada dalam satu sarung dengan membawa badik, sulit membayangkan bagaimana mereka bisa menghindar atau bergerak secara bebas.
Satu-satunya hal yang bisa diandalkan dalam Sigajang laleng lipa’ mungkin hanyalah doa, memohon perlindungan agar terhindar dari tusukan lawan. Namun, jika perlindungan itu pun gagal, biasanya berakhir dengan korban jiwa. Ilmu kekebalan ini sendiri beragam, tergantung pada guru atau metode yang diajarkan, yang sering kali melibatkan sugesti, mantra, atau ritual tertentu.
Beberapa orang yang mempelajari ilmu kebal bahkan mengalami berbagai eksperimen dan luka. Ada yang menyebut bahwa kekebalan ini bisa diturunkan dari orang tua atau leluhur, dan ilmu-ilmu tersebut dipandang sangat rahasia. Selain itu, ada kepercayaan bahwa ilmu kebal bisa hilang jika disertai dengan kesombongan atau digunakan secara sembarangan.