Kue Karasa memang menjadi salah satu makanan tradisional yang sangat penting dalam budaya masyarakat Bugis. Hadir hampir di setiap upacara adat, seperti syukuran, pernikahan, hingga pesta panen, kue ini memiliki peran yang tidak dapat diabaikan dalam merayakan berbagai momen penting dalam kehidupan masyarakat Bugis.
Salah satu ciri khas utama dari kue Karasa adalah bentuknya yang unik menyerupai benang kusut. Teksturnya yang renyah dipadukan dengan cita rasa manis gula merah menciptakan pengalaman rasa yang istimewa bagi para penikmatnya.
Tidak hanya lezat di lidah, kue Karasa juga menyimpan makna filosofis yang dalam bagi masyarakat Bugis. Makna dan filosofi yang terkandung dalam kue Karasa dapat berbeda-beda tergantung pada jenis upacara adat yang sedang dilaksanakan.
Dalam konteks ini, kue Karasa menjadi lebih dari sekadar hidangan, tetapi juga simbol yang memperkaya dan memperdalam makna serta kebermaknaan dari setiap upacara adat yang diadakan oleh masyarakat Bugis.
Asal Usul dan Sejarah Kue Karasa
Terkait dengan asal-usul dan sejarah kue Karasa, memang sulit untuk dipastikan dengan akurat karena tidak ada catatan resmi yang mengenai kuliner khas Bugis ini. Sari mengungkapkan bahwa meskipun sulit dipastikan, namun kue Karasa sudah tergolong sebagai kuliner tradisional, yang berarti keberadaannya sudah cukup lama, melewati minimal tiga generasi atau lebih dari 75 tahun.
Masyarakat Bugis telah lama mengolah kue-kue tradisional sejak zaman kerajaan mereka. Namun, teknik memasak yang dominan pada masa itu adalah dengan membakar atau merebus. Oleh karena itu, diperkirakan bahwa Karasa mungkin sudah ada sejak zaman kerajaan Bugis, meskipun dengan metode pengolahan yang berbeda.
Dalam proses pembuatan, terdapat perubahan mendasar dari masa lalu hingga sekarang. Dahulu, masyarakat menggunakan batok kelapa yang dilubangi kecil sebagai alat untuk membuat kue Karasa.
Adonan kue yang terbuat dari tepung beras yang telah dihaluskan dicampur dengan air akan mengalir melalui lubang tersebut, membentuk pola atau desain khas kue Karasa. Namun, sekarang alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan sudah lebih modern.
Meskipun perubahan teknologi dan teknik pembuatan telah terjadi dari masa lalu hingga sekarang, kue Karasa tetap mempertahankan posisinya sebagai salah satu kue tradisional yang penting dalam budaya Bugis.
Melalui proses pembuatannya yang khas dan bahan-bahan alami yang digunakan, kue ini menjadi simbol dari kekayaan budaya dan tradisi masyarakat Bugis yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Makna Filosofi Kue Karasa
Karasa, kue yang menjadi wajib dalam banyak acara adat masyarakat suku Bugis, tidak hanya merupakan hidangan manis yang lezat, tetapi juga membawa makna yang dalam dan doa bagi mereka yang menyelenggarakan hajatan.
Filosofi dari kue Karasa dapat bervariasi tergantung pada jenis upacara adat yang diadakan, tetapi secara keseluruhan, filosofi tersebut tercermin dalam teknik pembuatannya, bentuknya, dan nama kulinernya yang kemudian menjadi simbol kultural dalam masyarakat Bugis.
Dalam konteks acara mappanretemme, yang merupakan acara khatam Al-Qur’an, filosofi kue Karasa tercermin dalam teknik pembuatannya yang melibatkan memukul-mukul gagang.
Hal ini melambangkan harapan bahwa suara yang dihasilkan saat memukul kue tersebut bisa sama nyaringnya dengan suara anak-anak yang baru saja menyelesaikan khatam Al-Qur’an, menandakan kegembiraan dan kesuksesan dalam menyelesaikan pembacaan Al-Qur’an.
Sementara dalam acara pernikahan, bentuk Karasa yang menyerupai benang kusut memiliki filosofi yang mendalam. Benang kusut tersebut melambangkan masalah dan rintangan yang mungkin dihadapi oleh pasangan pengantin dalam perjalanan kehidupan rumah tangga mereka.
Namun, seperti menyelesaikan benang kusut, diharapkan bahwa kedua mempelai dapat menyelesaikan segala masalah dan rintangan tersebut dengan kesabaran, kerjasama, dan kekuatan cinta mereka, sehingga mereka dapat mengarungi bahtera rumah tangga mereka dengan sukses, meskipun segala hal tersebut serumit benang kusut.
Karasa bukan hanya merupakan makanan lezat, tetapi juga simbol dari harapan, kesuksesan, dan kekuatan cinta dalam berbagai momen penting dalam kehidupan masyarakat suku Bugis.