Posisi Cirebon, karena letak geografisnya di daerah pesisir Jawa, maka termasuk jalur perdagangan rempah Nusantara. Kedatangan kapal-kapal asing ke pelabuhan Muara Djati memperjelas keberadaan Cirebon dalam jalur perdagangan internasional.
Daerah pedalaman yang mengelilingi Cirebon seperti Subang, Majalengka, dan Kuningan merupakan wilayah penyangga dengan tanah subur yang menghasilkan produksi pertanian dalam jumlah besar, seperti sayur-mayur, buah-buahan, macam-macam daging, serta padi. Dari produksi pertanian yang berasal dari daerah pedalaman ini, Cirebon menjadi pelabuhan yang ramai.
Seperti tersurat di dalam naskah Nagara Kertabumi bahwa barang-barang dagangan ekspor berupa garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah, dan kayu jati mempunyai daya tukar yang tinggi sehingga menjadi komoditas andalan bagi Cirebon. Sedangkan komoditas impornya berupa logam besi, perak, emas, sutra, dan keramik halus.
Kota Cirebon mengalami perkembangan pesat saat dipimpin tokoh besar Syarif Hidayatullah atau biasa disebut Sunan Gunung Djati (1470 M). Ia merupakan cucu dari raja Siliwangi dari Pajajaran dan menantu Walangsungsang, seorang syahbandar Muara Djati.
Di bawah kepemimpinannya, Cirebon yang sudah masuk Islam memutuskan hubungan dengan Kerajaan Galuh yang masih Hindu. Sejak itulah, berdirilah kerajaan Islam Cirebon yang bercorak maritim.
Tidak hanya itu saja, Sunan Gunung Djati juga memperbaiki berbagai bangunan yang menunjang aktivitas perdagangan dan pelayaran. Di samping itu juga, dibangun semacam perbengkelan, baik untuk membuat atau memperbaiki perahu-perahu ukuran besar yang mengalami kerusakan.
Dengan demikian, pelabuhan itu bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh pedagang pribumi atau pedagang asing yang sudah banyak bertempat tinggal di sekitar pelabuhan. Keberadaan pelabuhan di pesisir wilayah Priangan Timur itu menjadi pemicu tumbuhnya pedukuhan-pedukuhan alias permukiman baru.
Setidaknya di wilayah tersebut ada tiga pelabuhan penting yaitu Pelabuhan Japura (Losari), Muara Djati (Cirebon), dan Cimanuk (Indramayu). Pelabuhan Japura yang dikepalai oleh Lebe Usa sudah ramai dikunjungi para pedagang sebelum Dukuh Losari berdiri.
Sebelum Desa Kebon Pesisir didirikan oleh Walangsungsang, Pelabuhan Muara Djati yang dipimpin oleh Ki Gedeng Jumajan Djati juga sudah mencapai kemapanannya. Demikian pula dengan Pelabuhan Cimanuk, lebih awal dipadati para pengunjung dari mancanegara sebelum Arya Wiralodra mendirikan Pedukuhan Cimanuk (sekarang Indramayu), termasuk Desa Babadan.
Era keemasan Muara Djati berlalu akibat pusat pelayaran bergeser ke Tanjung Priok di Batavia. Pemerintah Kolonial Belanda kemudian membangunan kembali Pelabuhan Muara Djati pada 1865. Nama pelabuhan tersebut kemudian lebih dikenal sebagai Cirebon. Infrastruktur pelabuhan diperluas dengan pembangunan kolam pelabuhan dan pergudangan. Saat itu Pelabuhan Cirebon masih berada dalam struktur organisasi Pelabuhan Semarang.
Setelah Indonesia Merdeka, Cirebon sejak 1957 berada di bawah Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Kemudian pada 1983 pelabuhan ini menjadi salah satu cabang pelabuhan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II atau Indonesia Port Corporation (IPC) yang berkantor pusat di Jakarta.
Ke depan, Pelabuhan Cirebon akan terus dikembangkan sebagai pelabuhan besar yang maju dan modern. Namun demikian, rekam jejak Cirebon di masa kejayaan jalur rempah Nusantara tak akan pudar. Sejarah Kesultanan Cirebon.